Selasa, 20 April 2010

OPTIMALISASI PERANAN ZAKAT DALAM MENGATASI MASALAH

DAFTAR ISI

JUDUL 1
ABSTRAKSI 1
I. PENDAHULUAN 2
II. TUJUAN DISYARIATKANNYA ZAKAT 4
III. ZAKAT SEBAGAI KEBIJAKAN FISKAL 4
IV. PARADIGMA BARU DALAM ZAKAT; INFESTASI ZAKAT 6
A. Aturan-aturan investasi zakat 6
B. Bentuk investasi zakat 6
1. Pendanaan dengan cara takhsish (pengkhususan) 7
2. Investasi dengan cara qardh al-Hasan 7
3. Investasi dengan cara mempercepat zakat 7
4. Taqshith zakat kepada para mustahik 8
V. MELIHAT POTENSI ZAKAT DI INDONESIA 8
VI. PERANAN ZAKAT MENGATASI MASALAH SOSIO-EKONOMI 9
A. Mengatasi Masalah Sosial 9
1. Mendekatkan perbedaan antara tingkatan atau kelas masyarakat 10
2. Dapat menanggulangi persoalan pengemis di masyarakat 10
B. Mengatasi persoalan Ekonomi Masyarakat Indonesia 12
1. Mengatasi penimbunan atau monopoli 12
2. Peran Zakat Mengentas Kemiskinan dan Pengangguran 13
1. Penyaluran zakat untuk pelatihan karyawan sebagai SDM yang ahli 13
2. Penyaluran untuk menyediakan sarana infrastruktur 14
3. Menjaga keseimbangan penawaran dan permintaan tenaga kerja 14
VII. KESIMPULAN 15
DAFTAR PUSTAKA 16
Lampiran-lampiran 17
Biodata Penulis 19

OPTIMALISASI PERANAN ZAKAT DALAM MENGATASI MASALAH
SOSIO-EKONOMI MASYARAKAT INDONESIA
(Studi Kasus Pada Masyarakat Dramaga - Bogor)

Abstraksi
Gambaran umum sosio-ekonomi Bangsa Indonesia saat ini tengah menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan yang cukup serius. Hal ini membuat para pemikir, politikus, ekonom serta para ulama dan umara' bersama-sama mencari akar permasalahan sesungguhnya, untuk kemudian memberikan solusi terbaik demi tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan negeri ini. Problem utama masih bersifat klasik; Kemiskinan dan pengangguran, yang pada akhirnya menjalar pada tindakan kriminalitas, amoral dan penipuan hingga pada disintegrasi. Suatu hal yang membahayakan pada keutuhan kesatuan NKRI kita.
Tulisan ini mencoba menganalisis sejauh mana Ekonomi Islam memberikan pencerahan terhadap kemajuan perekonomian di Indonesia, memberikan kesejahteraan pada masyarakatnya, mengurangi tingkat kemiskinan, pengangguran, kejahatan, dan masalah-masalah sosioekonomi lainnya dengan pendistribusian kekayaan yang berkeadilan. Dan ternyata, berdasarkan penelitian yang penulis lakukan di wilayah Dramaga-Bogor, sebanyak 32% masyarakat rutin membayar pajak, sedangkan masyarakat yang rutin membayar zakat mencapai 98% dari seluruh sample yang diambil. Hal ini mengindikasikan, bahwa masyarakat Indonesia yang diwakili oleh wilayah Dramaga-Bogor lebih memilih rutin membayar zakat dari pada membayar pajak ke pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan jumlah responden yang setuju dengan zakat sebagai penggugur/pengurang pajak sebanyak 58%, dan sebanyak 80% responden setuju dengan pengumpulan zakat secara terpusat.
Dengan adanya kesadaran masyarakat yang cukup tinggi membayar zakat, maka hal ini akan mendorong pendistribusian harta kekayaan secara merata dan adil. Dan pada akhirnya, zakat –yang merupakan salah satu instrument dalam Ekonomi Isam– mampu mengatasi segala problematika di atas dengan penyelesaian yang cantik dan indah. Diharapkan, setelah melihat kesadaran masyarakat yang tinggi ini, pemerintah segera menurunkan UU yang tegas, bahwa zakat bukan lagi hanya bersifat sukarela (voluntary zakat system) melainkan bersifat wajib (obligatory zakat system). Lebih tegas lagi, pemerintah dapat menerapkan praktik zakat ini secara kaffah (totalitas), agar dapat mencapai puncak tujuan (aqsha al-Ghayah) dari Maqhasid al-Syariah: Mashalih Mursalah, dan menciptakan negeri ini menjadi sebuah negeri yang digambarkan al-Quran sebagai, Baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Amin
Keyword:, Zakat, Kemiskinan, Pengangguran, Ekonomi Islam.



I. PENDAHULUAN
Sejak tahun 1960-an, permasalahan ekonomi kontemporer yang terjadi hingga saat ini masih berkutat seputar Inflasi, Pengangguran dan Kemiskinan. Termasuk juga di Indonesia. Tahun 1998, merupakan puncak sejarah yang menyedihkan bagi bangsa ini. Tahun yang mengingatkan kita akan pahitnya krisis moneter dengan inflasi mencapai sekitar 70%, sebuah angka yang sangat tinggi dan menakutkan. Padahal, jika kita mau jujur, faktor utama penyebab terjadinya inflasi tersebut sebenarnya adalah bunga itu sendiri, yang telah menjadi bagian dari biaya produksi, sehingga akhirnya menjadi bagian dari harga produk yang dijual. Begitupun pengangguran yang terjadi, lebih diakibatkan dari kebijakan penurunan suku bunga hingga nol persen. Di mana hal itu akan mendorong peningkatan investasi dan meningkatkan supply barang dan jasa, kemudian akan menjadi elemen yang mampu mereduksi level harga, hingga pengangguran tercecer dimana-mana. Disamping juga disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan akan tenaga kerja, yakni penawaran tenaga kerja lebih besar dari permintaan, sehingga ada sejumlah tenaga kerja yang tidak terserap. Ini adalah akibat jika sistem ekonomi kapitalis atau sosialis dianut oleh sebuah negara; ketidakadilan dan kekacauan.
Dalam teori ilmu makro ekonomi kapitalis juga disebutkan, bahwa untuk mengetahui tingkat kesejahteraan suatu bangsa, tolok ukur yang digunakan negara-negara dunia adalah PDB. PDB dianggap sebagai barometer tingkat pertumbuhan ekonomi di suatu negara yang hingga kini masih menjadi pembanding tingkat kesejahteraan antara negara satu dengan negara lainnya di dunia. Tak terkecuali di Indonesia. Kinerja perekonomian Indonesia masih didasarkan pada PDB, sebagaimana yang dilansir oleh BPS, bahwa PDB Indonesia pada triwulan III/2007 meningkat sebesar 3,9 persen (atas dasar harga konstan tahun 2000) bila dibandingkan triwulan sebelumnya, yaitu Rp 505,8 triliun dari PDB triwulan sebelumnya, Rp 48. 6,7 triliun.
Namun, satu hal yang perlu kita ketahui, bahwa pada dasarnya nilai besaran PDB tersebut tidak bisa menunjukkan esensi kesejahteraan suatu Negara yang sebenarnya. Sebab, PDB tidak dapat merefleksikan kesejahteraan setiap individu masyarakatnya secara merata. Terbukti angka kemiskinan di Indonesia sampai bulan Maret 2007 tergolong cukup tinggi, yaitu sebesar 37,17 juta orang (16,58 persen). Selain itu, jumlah pengangguran juga pada Agustus 2007 tergolong besar, yaitu 10,01 juta.
Sistem ekonomi Islam mempunyai tolok ukur yang berbeda dengan ekonomi konvensional. Aqsha al-Ghayah li Maqashid al-Syariah dalam Ekonomi Islam adalah menciptakan Mashalih Mursalah dengan mewujudkan distribusi kekayaan yang adil dan merata. Sehingga tidak ada harta kekayaan itu berputar dalam kalangan orang-orang tertentu saja, para kapitalis. Di sinilah peluang sekaligus tantangan bagi BAZ/LAZ –yang merupakan salah satu bagian penerapan dari Ekonomi Islam– untuk bisa memulihkan kembali perekonomian nasional agar tercipta kesejahteraan rakyat bersama yang menjadi tujuan dasar syariat di atas.
Perhatian Islam terhadap penanggulangan kemiskinan dan fakir miskin tidak dapat diperbandingkan dengan agama samawi dan aturan ciptaan manusia manapun, baik dari segi pengarahan maupun dari segi pengaturan dan penerapan. Semenjak fajar baru menyingsing di kota Mekkah, Islam sudah memperhatikan masalah sosial penanggulangan kemiskinan. Adakalanya Quran merumuskannya dengan kata-kata "memberi makan dan mengajak memberi makan orang miskin" atau dengan "mengeluarkan sebagian rizki yang diberikan Allah", "memberikan hak orang yang meminta-meminta, miskin dan terlantar dalam perjalanan", "membayar zakat" dan rumusan lainnya.
Pada dasarnya, Islam banyak mempunyai instrumen-instrumen ekonomi –selain zakat– yang dapat digunakan sebagai sebuah kebijakan negara. Seperti Sedekah, Wakaf, Kharaj (pajak tanah produktif), Jizyah (poll tax, hanya untuk non muslim), Dharibah (pajak yang ditetapkan oleh pemerintah kepada seluruh masyarakat), Fai' (harta peninggalan kafir, tanpa peperangan), Ghanimah (harta rampasan dari peperangan) dan 'Usyr. Masing-masing instrumen tersebut mempunyai peranan yang sangat besar dalam menumbuhkan perekonomian, dan mengentaskan kemiskinan pada khususnya, terutama pada Wakaf. Hanya saja, agar tidak terlalu melebar dalam tulisan ini, penulis lebih spesifik membatasi pembahasan dengan mengkaji seluk-beluk zakat, potensi dan peranannya dalam mengurangi tingkat kemiskinan, pengangguran dan masalah sosioekonomi lainnya. Insya Allah.


II. TUJUAN DISYARIATKANNYA ZAKAT
Ada beberapa tujuan urgen mengapa Allah mensyariatkan zakat, yaitu: Pertama, adalah untuk bertaqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) sebab, kita telah diberi kehidupan dan rizki yang telah ditanggung. Karenanya, kita wajib mensyukurinya dengan berzakat untuk semakin mendekatkan diri kita kepada Allah. Kedua, sebagai Tazkiyatun Nafs (membersihkan hati) dari segala kotoran-kotoran yang bersarang, seperti iri, dengki, hasud, dan lain sebagainya. Ketiga, adalah membantu fakir miskin. Ini adalah tujuan sosial terpenting disyariatkannya zakat. Itulah mengapa dalam ayat yang menjelaskan sasaran zakat, Allah lebih mendahulukan kalimat, Fuqara' dan Masakin. Itu berarti, Allah mensyariatkan zakat, semata-mata untuk menciptakan stabilitas perekonomian karena zakat diambilkan dari orang-orang kaya dan didistribusikan kepada orang-orang miskin mereka. Hikmah yang muncul, akan tercipta rasa berbagi, saling membantu, menghilangkan kesenjangan sosial antara si miskin dan si kaya, dan pada akhirnya tercipta kerukunan dan kesejahteraan antar warga. Dan inilah tujuan inti dari perekonomian, menciptakan kesejahteraan masyarakat tanpa ada kesenjangan sosial. (al-Qaradhawi, 2007. Fikih Zakat)

III. ZAKAT SEBAGAI KEBIJAKAN FISKAL
Prinsip Islam tentang kebijakan fiskal dan anggaran belanja bertujuan untuk mengembangkan suatu masyarakat yang didasarkan atas distribusi kekayaan berimbang dengan menempatkan nilai-nilai material dan spiritual pada tingkat yang sama. Dari semua kitab agama yang ada, al-Quran-lah satu-satunya kitab yang meletakkan perintah sangat tepat tentang kebijakan negara mengenai pengeluaran pendapatan. Keterangan ini mencerminkan suatu ancangan baru terhadap pengkajian masalah kebijakan fiskal, yang dikatakan Profesor R.W. Lindson, "Dalam membuat pengeluaran Pemerintah dan dalam memperoleh masukannnya, penentuan jenis, maka waktu dan prosedurlah yang harus diikuti." (M.A. Mannan, 1997)
Sampai saat ini, zakat yang berjalan di Indonesia masih bersifat sukarela (voluntary zakat system). Hal ini terlihat jelas pada pasal 12 ayat 1 UU No. 38 tahun 1999. Sehingga wajar ketika fokus sanksi dari UU ini ada pada badan amil zakat (bab VII Pasal 21). Penelitian yang telah dilakukan penulis di wilayah Dramaga – Bogor, menyatakan, bahwa masyarakat yang rutin membayar zakat secara sukarela mencapai 98% dari seluruh 50 sample yang diambil secara acak. Hal ini mengindikasikan, bahwa masyarakat Indonesia yang diwakili oleh wilayah Dramaga-Bogor mempunyai kesadaran yang sedemikian tinggi membayar zakat. Ini artinya, jika negara mengupayakan sistem zakat menjadi kewajiban (obligatory zakat system) dimasukkan sebagai kebijakan fiskalnya, masyarakat telah siap menjalankannya. Karena di samping ada kekuatan paksaan dari pemerintah –seperti halnya pajak– zakat, juga mempunyai kekuatan paksaan dari Allah. Dengan adanya double power ini, warga negara Indonesia yang mayoritas muslim, akan menerima dengan logowo, sebagaimana hasil penelitian penulis di Dramaga – Bogor. Jika ini diterapkan, zakat akan berfungsi dengan maksimal menjalankan perannya sebagai instrumen ekonomi di Indonesia.
Dalam hal zakat dijadikan sebagai kebijakan fiskal (bersifat obligatory zakat system), negara dapat mengacu pada dalil al-Quran berikut ini:
”Pungutlah (Ambillah) zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan do’akanlah mereka karena sesungguhnya do’amu dapat memberi ketenangan bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At Taubah : 103).
Kata "Khudz" dalam ayat tersebut, yang bermakna Pungutlah atau Ambillah, menunjukkan adanya pemaksaan pada pengumpulan zakat. Pada pelaksanaannya, Nabi pun mengangkat pegawai pengumpul zakat yang disebut mushadiq atau sa'i. Hal tersebut seperti juga diceritakan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Abu Hurairah, "Bahwasannya Rasulullah saw, telah mengutus Umar Ibnu Khaththab, pergi memungut zakat." (An-Nawawi, 1994. Al-Majmu' Vol. 6: 167).
Nabi Muhammad dengan wewenangnya sebagai kepala negara telah menunjuk orang-orang tertentu untuk mengambil zakat dari kaum muslimin. Hal tersebut menunjukkan bahwa zakat tidaklah terkumpul dengan sukarela, akan tetapi secara ketat dan tegas ditentukan bahwa zakat adalah sebuah kewajiban yang harus dibayar. Demikian pula pada masa kepemimpinan Khulafa ar-Rasyidin, zakat dikumpulkan oleh para petugas yang secara resmi diangkat oleh khalifah. Bahkan, khalifah Abu Bakar memerangi suku Abes dan Dzubyan -yang didukung oleh suku Kinanah, Ghatafan dan Fazarah - yang tidak mau membayar zakat.
Selama masa Rasul, para sahabat, dan para tabiin, zakat telah terkumpul dan terdistribusi dengan baik.
Untuk mengulang sejarah gemilang ini pada masa sekarang, kiranya tepatlah apa yang dikatakan oleh Imam Malik rahimahullah, “tidaklah akan menjadi baik dan berhasil umat ini tanpa melihat bagaimana keberhasilan generasi sebelumnya”.

IV. PARADIGMA BARU DALAM ZAKAT; INFESTASI ZAKAT
Yang dimaksud dengan infestasi zakat menurut Ekonomi Islam adalah mengelola harta-harta zakat baik secara tersendiri atau bersama dengan harta lainnya serta memanfaatkannya untuk kemaslahatan orang-orang yang berhak menerima zakat dengan peninjauan telah menjadi laba/hasil pada saat itu, atau pada masa yang akan datang yang sesuai dengan batasan-batasan yang telah ditetapkan. Lebih jelasnya, dapat kita simulasikan sebagai berikut:
Lembaga zakat yang menanganinya, menginvestasikan harta-harta zakat tersebut untuk kemaslahatan para mustahiqqin itu sendiri. Setelah itu, langkah berikutnya adalah, orang-orang fakir yang ada diberikan haknya secara bulanan, tapi dengan catatan mereka tidak mengalami apa-apa (bencana) sedikitpun ketika sebagian hartanya yang tersisa di investasikan.

A. Aturan-aturan investasi zakat
1. Investasi zakat harus menopang dan memperkokoh fungsi zakat, bukan malah menggantinya dalam kondisi apapun.
2. Investasi zakat itu harus berpegang teguh pada ajaran-ajaran Islam, semisal tidak di investasikan pada hal yang berbau bunga.
3. Harus dapat mewujudkan keadilan dalam mendistribusikan investasi-investasi tersebut berikut hasilnya pada orang-orang yang berhak. Dan senantiasa merasakan bahwa Allah mengawasinya dalam setiap aktivitas. Jika dinisbatkan pada kegiatan investasi zakat, maka hal itu dianggap sebagai ibadah untuk memperoleh kebaikan di hari kembali kelak.
4. Investasi zakat harus berlandaskan kajian-kajian yang berkualitas bagus dan telah ditetapkan.
5. Memilih orang-orang yang berpotensi, amanah dan integritas serta mempunyai etika yang mulia untuk mengurus administrasinya.
6. Kebijakan dalam investasi zakat itu bertujuan untuk mensejahterakan fakir miskin.
7. Dalam perencanaan dan pelaksanaan investasi zakat itu harus mengikutsertakan peran praktisi yang berpotensi dari pihak mustahik zakat.
8. Dalam menginvestasikan harta zakat, lembaga zakat menggantikan posisi sebagian mustahiqqin dalam hal yang lebih kompeten dibanding mereka.
9. Manfaat dari hasil investasi zakat itu harus langsung diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya.
10. Investasi zakat tidak menyentuh kepentingan umum dengan cara-cara yang tidak mengganggu.
11. Menjaga hak-hak para mustahik dengan cara kontrol/perhitungan terhadap investasi zakat.

B. Bentuk investasi zakat
4. Pendanaan dengan cara takhsish (pengkhususan)
Takhsish adalah mengkhususkan kadar tertentu dari timbangan zakat untuk di investasikan. Takhsish ini terkadang berpengaruh terhadap keadaan para mustahiqqin, walaupun terhadap kebutuhan sekunder mereka, dengan tujuan menutupi kebutuhan mendatangnya yang lebih baik.

5. Investasi dengan cara qardh al-Hasan
Yaitu Qardh Hasan tersebut diajukan oleh pihak lembaga zakat untuk di kembangkan kepada para mustahik, kemudian qardh hasan tersebut dianggap sebagai harta zakat yang menjadi haknya. Demikian ini sangat bagus. Sebab, jauh dari riba dan termasuk shadaqah. Qardh hasan ini diajukan dari orang banyak atau dari berbagai yayasan dan yang lainnya semata-mata sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan untuk mengharap keridhaan-Nya.

6. Investasi dengan cara mempercepat zakat
Yang dimaksud ”mempercepat zakat” dalam arti terminologi (istilah) adalah: mengeluarkannya sebelum tiba waktunya (sebelum tiba masa satu tahun). Namun, cara ketiga ini mempunyai syarat tertentu. Al-Imam al-Syafi’i menyaratkan untuk percepatan ini sebagai berikut: 1). Berupa harta, 2). Diberikan kepada mashrafnya (penerima yang semestinya) dan 3). adalah niat yang baik.

4. Taqshith zakat kepada para mustahik
Yang dimaksud dengan Taqshith adalah memberikan zakat kepada mustahik secara berkala/periode. Jadi, mustahik mempunyai kadar yang telah ditentukan baginya di awal pemberian. Hanya saja dalam kondisi ini, ia tidak langsung diberi sekaligus akan tetapi secara bertahap. Seperti bulanan atau mingguan dan seterusnya.

V. MELIHAT POTENSI ZAKAT DI INDONESIA
Jumlah penduduk miskin di Indonesia per Maret 2007 kamarin sesuai data yang dilansir BPS, adalah sebesar 37,17 juta (16,58 persen). Jumlah ini bisa dieliminir dengan pemberdayaan dana zakat, infaq, dan shadaqah. Untuk mensimulasikan potensi zakat di Indonesia, kita akan coba menghitung, penduduk Indonesia yang kini – menurut dari sumber yang sama–, berjumlah ±220 juta jiwa, apabila satu keluarga terdiri dari 5 orang, maka akan ada sekitar 44 juta kepala keluarga. Apabila 80% nya muslim, berarti ada 35.2 juta kepala keluarga. Kita asumsikan dari total jumlah tersebut, terdapat 30% nya saja terdiri dari orang-orang kaya (muzakki), berarti ada sekitar 10,56 juta kepala keluarga. Bila si muzakki tersebut mempunyai modal Rp.10 juta dengan zakat 2.5% maka setiap KK berzakat Rp.250,000 pertahun. Apabila di asumsikan mereka memiliki modal perniagaan Rp.200 juta, maka dana zakat yang terkumpul sebesar Rp.5 juta pertahun. Artinya dana zakat yang dikumpulkan sebesar 10,56 juta KK dikalikan dengan Rp.5,000,000 didapatkan hasil Rp.52.8 trilyun. Bila dikurangi hak amilin (1/8 bagian) sebesar Rp.6.6 trilyun maka masih tersisa Rp.46.2 trilyun yang dapat digunakan para mustahik dalam berbagai sektor. Bandingkan dengan anggaran pendidikan pada tahun 2007 hanya sebesar Rp.11 trilyun, anggaran pemberdayaan ekonomi lemah hanya Rp.1 trilyun. Ini berarti zakat bukan hanya merupakan solusi tepat melainkan ajaran yang harus dipertahankan dan dikembangkan.
Namun, ada satu hal penting yang perlu kita perjuangkan agar potensi tersebut dapat terimplementasikan dengan baik, yaitu adanya sebuah badan otoritas resmi yang dibentuk oleh negara serta memiliki kekuatan legal UU, seperti mentri perzakatan dan perwakafan. Hal ini sangat penting, mengingat selama ini sistem zakat di Indonesia mekanismenya masih di bawah Departemen Agama. Ketika kita menginginkan zakat merupakan instrumen ekonomi dalam negara, maka efektifitasnya akan lebih terasa ketika ia benar-benar menjadi alat kebijakan ekonomi. Dengan demikian sebaiknya mekanisme zakat ini berada di bawah otoritas ekonomi tersendiri sebagaimana di atas. Disadari atau tidak, pelaksanaan pembayaran zakat yang berjalan selama ini masih dilakukan oleh masing-masing individu serta belum teroganisir dengan sempurna, sehingga dana zakat yang terkumpul pun masih belum optimal. Dengan adanya sebuah otoritas resmi tersebut, diharapkan lembaga-lembaga amil zakat yang selama ini masih terpencar-pencar dapat dikordinir dengan baik, sehingga hasil yang diperoleh pun menjadi maksimal.
Sesuai dengan hasil penelitian yang penulis lakukan di Dramaga-Bogor, ternyata sebanyak 80% dari 50 responden yang kami teliti setuju dengan pengumpulan zakat secara terpusat. Ini artinya, bahwa masyarakat Indonesia yang diwakili oleh masyarakat Dramaga Bogor, menginginkan agar pengelolaan zakat di tangani secara terpusat oleh Pemerintah.

VI. PERANAN ZAKAT MENGATASI MASALAH SOSIO-EKONOMI
A. Mengatasi Masalah Sosial
Secara garis besar, peranan zakat dapat mengantarkan terwujudnya pertumbuhan sosial dalam tiga orientasi :
Pertama, dapat menciptakannya sifat ta’awun, penanggungan, dan solidaritas sosial yang dapat memperkokoh ikatan sosial di antara masyarakat. Zakat mempunyai peranan penting dalam pengembangan sosial masyarakat Islam. Pada dasarnya zakat adalah masuk dalam tatanan sosial, karena beroperasi dalam menjamin sendi-sendi sosial dan dapat mencegah terjadinya tindakan kriminalitas, sehingga akan terwujud di antara mereka saling menanggung antar sesama. Orang yang merasa kuat akan merangkul orang yang lemah, miskin, membantu Ibnus Sabil dan dapat mendekatkan jarak di antara mereka. Zakat berusaha menghilangkan dengki antara orang yang lemah dan kuat. Membantu mereka dalam mengarahkan pada jalan kebaikan dan menolak mereka melakukan hal-hal yang merugikan agama.
Kedua, dapat memecahkan problematika sosial yang kompleks, di mana ketika di abaikan maka akan meggerogoti bangunan kokoh suatu masyarakat dan akan menyebabkan kerapuhannya. Dalam setiap masyarakat pasti terdapat problematika sosial. Akan tetapi, cara penanggulangan problematika tersebut berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kultur masyarakatnya. Dalam masyarakat Islam, zakat mempunyai kemampuan untuk memecahkan segala persoalan sosial yang menjamur di masyarakat. Untuk menanggulangi problem ini, zakat mempunyai peranan:
2. Mendekatkan perbedaan antara tingkatan atau kelas masyarakat
Islam tetap mengakui adanya perbedaan masyarakat dalam segi ma’isyah dan pendapatan (income). Hal itu jelas disebabkan perbedaan pemberian dari Allah, perbedaan bakat, kemampuan dan kekuasaan. Tapi, perbedaan ini maksudnya bukanlah Islam membiarkan yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin sehingga akan terjadi kesenjangan antara kedua golongan ini. Justeru Islam berusaha mendekatkan perbedaan itu. Dalam hal ini, zakat mempunyai peranan penting dalam mengangkat derajat orang-orang fakir miskin dan orang orang-orang lemah, lebih sedikit dari derajat orang-orang kaya. Yakni, apa yang dapat membantu meminimalisir celah antara tingkatan orang-orang yang memiliki kekayaan lebih di masyarakat dan tingkatan fakir miskin. Karena diantara tujuan Islam adalah mengangkat tingkatan orang-orang fakir miskin dan mengalihkannya pada tingkatan produksi.
2. Dapat menanggulangi persoalan pengemis dan gelandangan di masyarakat
Diantara problematika terpenting yang melanda di masyarakat sekitar kita adalah meminta-minta (para pengemis) dan gelandangan. Dalam masyarakat yang menerapkan sistem zakat, maka kedua problema ini dapat ditanggulangi dengan baik. Sebab pada hakikatnya, para pengemis dan gelandangan itu adalah termasuk golongan orang-orang fakir miskin (golongan pertama) yang berhak menerima bagian zakat. Mereka sadar, bahwa dirinya termasuk golongan mustahiqqin dan bukanlah bagian yang hilang dari suatu komunitas. Karenanya mereka akan mencari orang-orang yang menangani hasil zakat untuk memperoleh hak-haknya.
Al-Quran juga telah memberikan perhatian terhadap Ibnus Sabil (para musafir) dalam surah Makiyyah atau Madaniyyah dan memerintahkan kaum muslimin dalam mayoritas surat itu untuk berbuat baik padanya dan memenuhi haknya, kemudian memberikan bagian padanya dari harta zakat. Hal itu tiada lain, melainkan karena Islam senang jika seseorang memiliki rumah sendiri yang mendapat perlindungan. Sebaliknya Islam benci jika seseorang menjadi anak jalanan yang tidak memiliki rumah alias gelandangan. Dari sini, syariat menetapkan bahwa seseorang hendaknya memiliki rumah yang layak yang dapat melindungi dirinya dan keluarganya. Sebagian ulama kontemporer, menafsirkan ibnus Sabil dalam ayat zakat dengan kata anak terlantar sehingga mereka wajib mendapatkan bagian dari harta zakat.
Ketiga, dapat membantu dan berkontribusi terhadap pengembangan kekuatan militer dan politik dalam suatu komunitas. Merupakan suatu keniscayaan, bila ingin mengembangkan kekuatan militer maka harus melengkapi persenjataan mereka dan melatih kemiliteran. Semua itu butuh biaya yang tidak sedikit, bahkan bisa membutuhkan jutaan dolar. Terlebih di masa sekarang. Suatu negara yang menerapkan praktik zakat dengan sebenarnya, maka hasil yang akan diperoleh akan jauh lebih besar dan banyak melebihi sistem pajak. Sebab, kaum muslimin sadar bahwa kewajiban membayar zakat itu adalah memenuhi hak Allah. Terlebih lagi jika mereka mengetahui, bahwa hak Allah itu akan didermakan dalam pendistribusian yang sesuai dengan syariat yang telah diperintahkan oleh Allah swt.
Zakat dapat memperkokoh tatanan politik dan mengkonsolidasikannya. Lebih-lebih kekuatan sistem militer dan kemampuan menghadapi musuh-musuh di dalam atau di luar. Sebab, orang yang memberi dan menerima zakat percaya dengan sepenuh hati bahwa mereka bekerja sama dalam mengatur pemerintahan dan mengatur pembelanjaannya, pendanaannya untuk mewujudkan perintah Allah dan taat pada-Nya dalam mendermakan harta pada distribusi yang syar’i.
Kata Sabilillah dalam ayat zakat mengandung makna yang luas. Karenanya negara bisa menyisihkan sebagian hasil zakat untuk memperkuat para tentara militer muslimin dengan membelikan persenjataan, amunisi, dan juga didermakan kepada para pejuang demi membela tanah air dan mempertahankan negara Islam.
Begitupun dalam masaah politik, bukankah Allah swt telah menggariskan distribusi zakat pada delapan golongan yakni: fakir miskin, muallaf, orang yang memiliki hutang, ibnus sabil, para budak, sabilillah dan para amil? Cukuplah bagi kita berpikir, apa jadinya jika negara mengabaikan mereka semua tanpa diberi zakat? Pasti yang terjadi adalah kekacauan, kemarahan, penyiksaan dan kedzaliman. Dengan diterapkannya zakat, maka stabilitas keamanan politik dapat terkendali dengan baik.


B. Mengatasi persoalan Ekonomi Masyarakat Indonesia
Sebagian masyarakat berasumsi bahwa, zakat adalah penyebab berkurangnya modal tahunan. Akan tetapi mereka tidak sadar bahwa zakat sebenarnya hanya wajib pada harta yang disimpan dalam masa satu tahun dan telah mencapai satu nishob. Berkurangnya harta seseorang yang diakibatkan zakat dapat mendorong dia untuk menginvestasikan hartanya (mengembangkan) sehingga dia dapat membayar zakat dari hasil/income yang diperoleh dari investasinya tersebut. Dengan demikian seseorang tetap dapat menjaga modalnya/harta pokoknya dan dia akan berusaha mengembangkannya. Dan syariat telah memotivasi akan hal itu. Berdasarkan sebuah hadits,
ﺇﺘﺟﺮﯙﺍ باموال اليتامى ﺤﺘﯽ لا تأكلها الزكاة
Artinya: “Perdagangkan (kelola)lah harta anak-anak yatim itu sehingga tidak habis termakan zakat”
Zakat dapat menambah income dan kekayaan (asset) masyarakat. Ia dapat membersihkan harta, menambah keberkahannya, serta dapat memelihara dari bencana, mencegah dari faktor-faktor kerusakan harta, hilang. Sebagian harta yang dizakati akan kembali pada kalangan pekerja fakir miskin yang turut berkontribusi dalam menciptakan berkembangnya harta. Dari itu, rasa cinta mereka terhadap pemeluk harta semakin meningkat, sehinga dapat mendorong mereka mengerahkan segala kemampuannya untuk mewujudkan kerelaan pemilik harta. Kemudian, tanpa diragukan lagi, dapat menyebabkan berlipat gandanya rasio investasi dalam modal. Pada sisi lain pemerintah juga turut menangani dalam bidang mendrmakan sebagian hasil zakat terhadap pelayanan-pelayanan umum yang diperoleh dari modal yang diinvestasikan tersebut. Sehingga semakin berkembang dan bertambah.

1. Mengatasi penimbunan atau monopoli
Islam melarang menimbun harta tanpa ada batasan. Karena harta yang ditimbun tersebut berarti menjadi sesembahan kepada selain Allah. Dalam kondisi yang sama pula harta menjadi sesembahan sekawanan syaithan atau orang-orang bakhil yang gemar menimbun hartanya. Sehingga ayat tentang pelarangan israf (berlaku boros) adalah umum terhadap kesemua anggota masyarakat, kaya ataupun fakir. Hanya saja sudah dimaklumi, bahwa hanya orang-orang kayalah biasanya yang melewati batas keharaman penimbunan ini, baik karena cerobohnya mereka dalam membelanjakan hartanya atau karena boros.
Zakat berperan memerangi monopoli yang dapat mencegah uang dari menunaikan tugasnya, yaitu sebagai wasilah/perantara dalam pertukaran barang (perputaran uang). Sehingga pada waktu yang bersamaan, zakat dapat pula mengembangkan harta tersebut. Menunaikan zakat kepada terhadap mustahiq yang membutuhkan dapat menyebabkan perubahan model konsumtif dan permintaan barang-barang konsumtif terhadap kebutuhan-kebutuhan primer. Demikian ini akan meminimalisir permintaan terhadap barang-barang konsumtif sehingga konsekuensi selanjutnya, tentu akan meningkatkan investasi. Islam telah menciptakan jaminan sosial dan solidaritas umum bagi setiap individu masyarakat sebagai perlawanan kerugian yang beraneka ragam yang tercakup dalam aktivitas ekonomi.

2. Peran Zakat Mengentas Kemiskinan dan Pengangguran
Diantara peran zakat, terdapat beberapa mekanisme pendistribusiannya, yang jika diterapkan, maka akan sangat efektif dalam mengurangi kemiskinan dan mengatasi pengangguran, khususnya yang terjadi di Indonesia.
a. Penyaluran zakat untuk pelatihan karyawan sebagai SDM yang ahli
Untuk menghasilkan produksi yang berkualitas baik, maka peran karyawan sebagai tenaga kerja haruslah terdiri dari SDM yang berkeahlian dan memiliki integritas yang tinggi dalam memajukan perusahaan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas SDM yang ahli, dapat dilakukan seperti yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz, zakat tidak semata-mata untuk diberikan dan dikonsumsi, tetapi dipakai sebagai pelatihan skill untuk mengelola modal usaha yang efektif dan baik. Sehingga mereka mampu mendapatkan pekerjaan yang layak dan dapat meningkatkan pendapatannya. Ini diberikan bagi mereka yang memang berhak menerimanya.
Penerapan zakat dengan orientasi seperti ini pernah mencapai titik gemilang pada masa Umar bin Abdul Aziz. Hanya dalam masa 2 tahun beliau berhasil mengentaskan kemiskinan sehingga tidak ada lagi yang mau menerima zakat. Semua rakyatnya merasa sudah menjadi muzakki (pembayar zakat) bukan lagi mustahik (penerima zakat). Sebagaimana dituturkan Abu Ubaid bahwa Gubernur Irak Hamid bin Abdurrahman sewaktu mengirim surat kepada Amirul Mukminin tentang melimpahnya dana zakat di baitulmaal karena sudah tidak ada lagi yang mau menerimanya, lalu Umar bin Abdul Aziz memerintahkan untuk memberikan gaji dan hak rutin orang di daerah itu, dijawab oleh Hamid “Kami sudah memberikannya tetapi dana zakat begitu banyak di baitul maal, lau Umar bin Abdul Aziz menginstruksikan untuk memberikan dana zakat tersebut kepada mereka yang berhutang dan tidak boros. Hamid berkata, “Kami sudah bayarkan hutang−hutang mereka, tetapi dana zakat begitu banyak di Baitul Maal”, kemudian Umar bin Abdul Aziz memerintahkan agar ia mencari orang lajang tidak memiliki cukup uang dan ingin segera menikah, agar dinikahkan dan dibayarkan maharnya, dijawab lagi “kami sudah nikahkan mereka dan bayarkan maharnya tetapi dana zakat begitu banyak di baitul maal”. Akhirnya Umar bin Abdul Aziz memerintahkan agar Hamid bin Abdurrahman mencari seorang yang biasa membayar upeti atau pajak hasil bumi. Jika ada kekurangan modal dalam usahanya, berilah pinjaman kepada mereka agar ia mampu kembali mengolah lahannya dengan baik. Kita tidak menuntut kecuali setelah dua tahun atau lebih”. Cara inilah yang disebut penyaluran zakat produktif.

b. Penyaluran untuk menyediakan sarana infrastruktur
Terlepas dari pro dan kontra para ulama mengenai penyaluran zakat sebagai pengadaan infrastruktur, penulis melihat 'umum al-Lafdzi "Fii Sabilillah" (keumuman lafadz "Jalan Allah") Sesuai dengan kaidah ushul fiqh, bahwa al-'Ibrah fii 'umum al-Lafdzi, laa bi khusus al-Sabab (yang dianggap adalah keumuman lafadznya, bukan kekhususan penyebabnya) Jadi, segala sesuatu atau sarana yang mengarah pada jalan kebaikan, maka hal itu termasuk dalam katagori Fii Sabilillah. Oleh karena itu, zakat dapat didistribusikan dalam bentuk pembangunan infrastruktur dan fasilitas sosial, serta sarana-sarana yang dapat memperlancar pembangunan ekonomi. Dengan adanya pembangunan ini tentu akan menyerap banyak tenaga kerja, dan pendapatan nasional akan bertambah.

c. Menjaga keseimbangan penawaran dan permintaan tenaga kerja
Jika kita amati pengangguran yang terjadi di Indonesia, lebih disebabkan adanya ketimpangan antara permintaan dan penawaran tenaga kerja, sehingga ada sejumlah tenaga kerja yang tidak terserap. Dengan zakat, masalah seperti ini dapat di atasi dengan cara, meningkatkan permintaan TK melalui pembukaan lapangan kerja baru yang bersumber dari dana zakat. Dana zakat yang terhimpun, dapat dibuat pabrik-pabrik industri, atau pembangunan tempat-tempat penginapan yang bisa diijarahkan (disewakan) dan lain-lain. Hal ini sekaligus akan menciptakan stimulus dan motivasi untuk bekerja bagi mereka yang pengangguran. Sebab zakat diberikan dalam dua bentuk: konsumtif dan produktif, yang dimaksudkan meminimalisir tingkat pengangguran sehingga tercipta keseimbangan.

VII. KESIMPULAN
Dari paparan diatas, dapat kita ambil benang merah, bahwa jika suatu negara menerapkan zakat dengan sebenarnya, maka masalah sosio-ekonomi seperti kemiskinan, pengangguran, tindak kejahatan, dan disintegrasi, dapat diatasi dengan baik dengan cara pengoptimalan zakat. Sayangnya, potensi zakat yang sangat besar yang ada di Indonesia saat ini tidak dikelola dengan cara optimal. Hal ini lebih disebabkan, penanganan zakat dilakukan secara terpencar-pencar oleh lembaga-lembaga amil zakat, sehingga hasilnya pun tidak signifikan mempengaruhi pertumbuhan perekonomian Indonesia.
Disarankan kepada Pemerintah, sesuai dengan penelitian yang penulis lakukan, agar penanganan zakat di kelola secara secara terpusat oleh satu lembaga atau badan otoritas resmi yang diangkat oleh negara, semacam mentri perzakatan dan perwakafan. Melihat masyarakat Indonesia yang diwakili oleh masyarakat Dramaga Bogor, sebanyak 98% telah sadar dan sukarela membayar zakat secara rutin. Artinya, jika pemerintah pun mewajibkannya, maka masyarakat akan senantiasa legowo menerima dan melaksanakannya. Sehingga zakat bukan lagi bersifat sukarela (voluntary zakat system) melainkan menjadi kebijakan fiskal yang bersifat wajib (obligatroy zakat system).
Zakat, hanyalah salah satu instrumen yang dimiliki oleh Ekonomi Islam yang ternyata mampu menjawab segala persoalan sosio-ekonomi yang dihadapi oleh sebuah negara. Jika instrumen ini digabung dengan penerapan instrumen lainnya, seperti wakaf, kharaj, Musyarakah dalam perbankan syariah, dan lain-lain, maka dapat dipastikan perekonomian Indonesia akan mengalami pertumbuhan yang sangat drastis dan pada akhirnya, apa yang kita impikan, Indonesia akan menjadi negara yang subur makmur, sentosa, gemah ripah loh jinaweh. Amin.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran al-Karim
Al-Ghazali, Abu Hamid. 1991. Ihya’ Ulum al-Dien. Vol. II. Daar al-Fikr, Beirut – Lebanon.
Al-Malaibary, Zainuddin. 1994. I’anah al-Thalibin, vol. III. Daar al-Fikr, Beirut – Lebanon.
Al-Nawawi, Syarafuddin, tt. Syarh Muslim li al-Nawawi. Daar al-Fikr, Beirut - Lebanon.
-------------, 1994. al-Majmu’ ‘ala Syarh Muhaddzab. Daar al-Fikr, Beirut – Lebanon.
Az-Zuhayli, Wahbah, 1999. al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh. Daar al-Fikr, Beirut - Lebanon.
Al-Qaradhawi, Yusuf. 2007. “Hukum Zakat” (Penerjemah: Drs.Didin Hafiduddin dan Drs. Hasanuddin) PT. Pustaka Litera Antarnusa – Jakarta.
Deliarnov, 2005. ”Perkembangan Pemikiran Ekonomi” Ed. Revisi. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Yafie, Ali Prof. KH. 2003. ”Fiqih Perdagangan Bebas” Cet. II. Teraju dan PT. AHAD-Net International – Jakarta.
Chapra, M. Umer. 1997. ”Al-Quran menuju sistem moneter yang adil” (penterjemah: Drs. Lukman Hakim, MA) PT. Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta.
Karim, Adiwarman A. 2007. ”Ekonomi Makro Islami” Ed. 3. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Monzer, Kahf. 1979. ”Ekonomi Islam; Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam” Cet. I (penerjemah: Machnun Husein). Pustaka Pelajar Yogyakarta.
Sakti, Ali. 2007. ”Ekonomi Islam: Jawaban Atas Kekacauan Ekonomi Modern” Paradigma & AQSA Publishing – Jakarta.
Mannan, M.A. 1997. ”Teori dan Praktek Ekonomi Islam” (penerjemah: Drs. M. Nastangin) PT. Dana Bhakti Prima Yasa – Yogyakarta.
www.bps.go.id (Berita Resmi Statistik No. 05/01/Th. XI, 2 Januari 2008)
Qardhawi, Yusuf. Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan. Jakarta: Gema Insani Press, 1995

Lampiran Questioner NO : _____
Tanggal : _______________________________________________2008

1. Nama : …………………………………………………………..
2. Alamat : …………………………………………………………..
3. Agama : …………………………………………………………..
4. Pekerjaan : ..........................................................................................

5. Jenis Kelamin : a. Laki-laki b. Perempuan

6. Umur : a. 15-20 tahun b. 20-25 tahun c. 25-30 tahun d. 30-35 tahun e. >35 tahun

7. Status : a. Menikah b. Single

8. Apakah Anda sudah terkena wajib pajak?
a. Ya, sebutkan pajaknya: . . . . . . .
b. Belum
c. Tidak

9. Apakah Anda sudah rutin membayar pajak?
a. Ya, dalam jangka waktu : . . . . . .
b. Belum
c. Tidak

10. Apakah Anda juga rutin membayar zakat? Zakat yang dibayar berupa.....................
a. Ya, dalam jangka waktu: . . . . . . .
b. Belum
c. Tidak

11. Dana sukarela apa yang Anda keluarkan selain zakat?
a. Infaq b. Shadaqah c. Wakaf d. lainnya: . . . . . . .

12. Jika membayar zakat dapat menggugurkan kewajiban untuk membayar pajak kepada pemerintah, apa yang Anda pilih?
a. Membayar pajak, dan tidak membayar zakat
b. Membayar zakat, dan tidak membayar pajak
c. Membayar keduanya
d. Tidak membayar keduannya

13. Apakah menurut Anda, Lembaga/Badan Amil Zakat yang ada di Indonesia sudah menjalankan kinerja yang baik?
a. Baik b. Cukup c. Buruk d. Tidak tahu

14. Apakah Anda setuju jika pengumpulan dana Zakat, Infaq, Shadaqah, dan Wakaf dikoordinir oleh satu lembaga saja?
a. Ya
b. Tidak, karena . . . . . . . . .
Resume Questioner

Dari jumlah questioner yang disebar di wilayah Darmaga-Bogor, sebanyak 50 lembar dengan metode random sampling diperoleh pengembalian atas angket sebanyak 100%, dengan rincian sebagai berikut:

1. Kewajiban membayar pajak
Terkena wajib pajak : 24 responden (49%)
2. Kerutinan membayar pajak
Rutin bayar pajak : 16 responden (32%)
3. Kerutinan membayar zakat
zakat fitrah, mal, dan profesi : 49 responden (98%)
4. Pengeluaran dana sukarela
infaq : 15 responden
shadaqah : 42 responden
wakaf : 0 responden
lainnya : 2 responden
5. Opini penggantian zakat atas pajak
Setuju : 29 responden (58%)
Membayar keduanya : 20 responden (42%)
6. Opini kinerja LAZ/BAZ
Baik : 15 responden (80%)
Cukup : 23 responden
Buruk : 5 responden
Tidak tahu : 7 responden
7. Pengumpulan zakat terpusat
Setuju : 40 responden (80%)
Tidak setuju : 9 responden

Dari keseluruhan responden, ternyata hanya 32% yang rutin membayar pajak, sedangkan yang rutin membayar zakat mencapai 98% dari sample yang diambil.
Dari hal tersebut tentunya kita dapat melihat bahwa masyarakat Indonesia yang diwakili oleh wilayah Darmaga-bogor lebih memilih rutin membayar zakat dari pada membayar pajak ke pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan jumlah responden yang setuju dengan zakat sebagai penggugur/pengurang pajak sebanyak 58% dan 80% responden yang setuju dengan pengumpulan zakat secara terpusat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar