MINI MARKET SYARIAH:
SEBUAH KONSEP MINI MARKET PEDULI UMAT
ARTIKEL ILMIAH
Dalam Rangka
Lomba Penulisan Essai Ekonomi Syariah Nasional
Universitas Gajah Mada
Disusun oleh:
Titin Kartini 7101406151
Wiwik Supriyanti 3301403147
Jamaludin 3301405159
KELOMPOK STUDI EKONOMI ISLAM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2008
MINIMARKET SYARIAH: SEBUAH KONSEP MINIMARKET PEDULI UMAT
Titin Kartini, Wiwik Supriyanti dan Jamaludin (KSEI UNNES)
SARI
Jumlah pemeluk agama Islam adalah mayoritas (87% di tahun 1990). Agama merupakan pandangan hidup yang menjadi dasar dari kehidupan sehingga harap dipahami adanya aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar.Ketika dibandingkan beberapa parameter sekaligus, maka responden menjawab sebagai pertimbangan utama dalam memilih produk adalah kehalalan (56%), harga (24%), rasa (18%), dan hadiah (2%). Dari karakteristik keinginan konsumen ini terlihat bahwa halal (masih lebih bersifat normatif) merupakan bahan pertimbangan utama. Harga masih menjadi faktor dominan kedua yang menentukan dalam memilih produknya. (Republika,12 Agustus 2005). Dalam konsep ekonomi syariah (Ekonomi Islam) konsep Minimarket syariah menjadi solusi yang solutif untuk diterapkan pada semua problematika tesebut. Minimarket syariah yang penulis tawarkan adalah Minimarket yang bebas dari keharaman. Semua yang ada didalamnya adalah sesuai dengan syariat islam. Dalam Minimarket tersebut semua produk yang ditawarkan adalah halal, manajemen dan pemasaran serta pemodalannya dilakukan syariah. Inti dari Minimarket sayariah adalah tidak mengandung H.MAGHRIB (haram, maysir, gharar, dan riba). Penerapan peduli umat yang ada dalam Minimarket syariah adalah adanya pengelolaan a pentaluran zakat serta shadaqoh ke warga sekitar minimarker tersebut. Selan itu ada pula kartu dhuafa yang fungsinya adalah pemotongan harga bagi pemilik kartu ketika berbelanjadalm Minimarket tersebut.
Kata Kunci : Minimarket, halal dan haram, peduli umat, zakat dan Shadaqah.
Indonesia adalah negara berpenduduk sekitar 200 juta terdiri dari banyak suku (jumlah bahasa daerah lebih dari 250). Demikian pula ada beragam agama seperti Islam, Kristen, Budha, Hindu dan lain-lain, tetapi jumlah pemeluk agama Islam adalah mayoritas (87% di tahun 1990). Agama merupakan pandangan hidup yang menjadi dasar dari kehidupan sehingga harap dipahami adanya aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar. Adanya aturan halal haram, boleh atau tidaknya suatu makanan dan perbuatan dilakukan dan adanya perbuatan-perbuatan yang wajib dilakukan oleh seorang muslim, baik kepada tuhannya maupun kepada sesama manusia.
"Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepadanya" ( QS. Al-Maaidah: 88). Ayat tersebut di atas jelas-jelas telah menyuruh kita hanya memakan makanan yang halal dan baik saja, dua kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, yang dapat diartikan halal dari segi syariah dan baik dari segi kesehatan, gizi, estetika dan lainnya. Sesuai dengan kaidah ushul fiqih, segala sesuatu yang Allah tidak melarangnya berarti halal. Dengan demikian semua makanan dan minuman di luar yang diharamkan adalah halal. Halal berdasarkan Kamus Besar Indonesia adalah hal-hal yang diizinkan (tidak dilarang oleh syarak). Oleh karena itu, apabila dilihat dari ayat tersebut, sebenarnya sangatlah sedikit makanan dan minuman yang diharamkan dan masih banyak yang dihalalkan untuk manusia (terutama untuk kaum muslim). Walaupun demikian, pada zaman dimana teknologi telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari manusia, maka permasalahan makanan dan minuman halal menjadi relatif kompleks.
Berbagai makanan dan minuman serta produk yang lain disediakan bebas di pasaran di berbagai tempat. Dan yang paling banyak serta diminati banyak pengunjung adalah supermarket serta Minimarket yang sudah banyak di kota-kota bahkan di daerah-daerah. Mereka menawarkan produk dengan berbagai kenyamanan. Namun, dibalik semua kenyamanan tersebut, banyak produk ditawarkan di sana merupakan produk yang masih belum ada label halal dari LP-POM MUI maupun dari BPOM RI. Harusnya ada perlindungan untuk konsumen dengan adanya pencantuman label halal dan tanggal kadaluwarsa suatu produk.
Kasus Ajinomoto (2000) menjadi kasus yang sangat besar setelah produk MSG yang menggunakan bactosoytone dalam proses pembuatannya dinyatakan haram oleh Komisi Fatwa MUI. Hal ini terjadi karena Ajinomoto melakukan penggantian jenis nutrisi yang digunakan dalam proses pembiakan bakteri tanpa pemberitahuan kepada LP-POM MUI. Ternyata kemudian diketahui, jenis nutrisi baru yang digunakan mengandung enzim babi. Akibat dari kasus ini, pabrik Ajinomoto sempat ditutup sementara dan para pejabat yang bertangngung jawab diamankan oleh polisi. Setelah produk haram yang sudah terlanjur beredar di pasar ditarik dan dimusnahkan, serta mengganti bactosoytone dengan bahan lain yang halal, MUI mengeluarkan serifikat halal untuk produk Ajinomto versi baru. Selain itu masih banyak kasus yang lain, seperti jus mengkudu (2001), plasenta (2002) yang menjadi bahan kosmetik, kolagen (2002) yang berasal bisa dari sapi maupun babi dan ini dijadikan bahan kosmetik juga, dan masih banyak kasus yang lain.
Ketika dibandingkan beberapa parameter sekaligus, maka responden menjawab sebagai pertimbangan utama dalam memilih produk adalah kehalalan (56%), harga (24%), rasa (18%), dan hadiah (2%). Dari karakteristik keinginan konsumen ini terlihat bahwa halal (masih lebih bersifat normatif) merupakan bahan pertimbangan utama. Harga masih menjadi faktor dominan kedua yang menentukan dalam memilih produknya. (Republika,12 Agustus 2005).
Dalam konsep ekonomi syariah (Ekonomi Islam) konsep Minimarket syariah menjadi solusi yang solutif untuk diterapkan pada semua problematika tesebut. Dalam Minimarket tersebut semua produk yang ditawarkan adalah halal, manajemen dan pemasaran serta pemodalannya dilakukan syariah.
A. DEFINISI
A. Minimarket
Pengertian Minimarket adalah toko swalayan yang hanya memiliki satu atau dua mesin register sementara supermarket adalah swalayan besar yang juga menjual barang-barang segar seperti sayur dan daging dengan jumlah mesin registernya mencapai tiga ke atas.
Hipermarket itu juga masuk kategori swalayan yang juga menjual barang-barang white goods seperti mesin cuci, kulkas, dan televisi.
Di Indonesia pemainnya adalah Carrefour, ClubStore, Giant. Sementara hypermarket lokal, yakni Alfa Gudang Rabat juga dimasukkan dalam kriteria ini meski ukuran tokonya lebih kecil (semihiper), tetapi keanekaragaman barang yang dijual sama dengan hipermarket. (Hasil Riset ACNielsen, 2006)
Perbedahaan istilah Minimarket, supermarket dan hypermarket adalah di format, ukuran dan fasilitas yang diberikan. Contohnya Minimarket berukuran kecil (100 M2 s/d 999 M2), supermarket berukuran sedang (1.000 M2 s/d 4.999 M2), hypermarket berukuran besar (5.000 M2 ke atas)
Suatu perusahaan ritel biasanya tidak terbatas membuka tipe atau format swalayan. Ada beberapa ritel di Indonesia yang beroperasi swalayan dalam beberapa format tersebut seperti: Macan Group di Medan Indonesia beroperasi format Minimarket dengan merek Macan Mart dan format supermarket Macan Yaohan-Hero Group di Jakarta beroperasi format supermarket Hero dan hypermarket Giant - Alfa Group beroperasi format supermarket Alfa dan Minimarket Alfa Mart.
B. Prinsip Syariah
Tujuan utama syariah adalah mendidik manusia, memantapkan keadilan dan merealisasikan keuntungan bagi setiap manusia di dunia maupun di akhirat. Syariah mengatur semua aspek kehidupan umat muslim, baik politik, ekonomi, dan sosial dengan menjaga keyakinan, kehidupan, akal, dan kekayaan mereka. Hal serupa juga dinyatakan oleh Ibn Al Qayyim Al Jawziyah (Muhammad, 2005: 136) bahwa basis syariah adalah kebijakan dan kesejahteraan masyarakat di dunia maupun di akhirat. Dengan kata lain, syariah berkaitan dengan peningkatan keadilan dan kesejahteraan masyarakat dengan menetapkan fondasi dasar bagi moral, sosial, politik, dan filsafat ekonomi masyarakat ekonomi tersebut.
Prinsip syariah dalam ekonomi dan bisnis tersebut yang terdiri dari halal, bebas dari riba atau adanya prinsip bagi hasil, dan adanya zakat dapat dilihat dalam gambar1.
Gambar 1. Dasar-dasar paradigma syariah (Muhammad, 2005: 136)
1. Halal
Kata halalan, bahasa Arab berasal dari kata halla yang berarti ‘lepas’ atau ‘tidak terikat’. Secara etimologi kata halalan berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Atau diarktikan sebagai segala sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi. (Girindra, 2006)
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu darah, daging babi, dan binatang (ketika disembelih) disebut nama selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesunguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al Baqarah; 173). Berdasarkan ayat tersebut jelaslah bahwa makanan yang diharamkan pada pokoknya ada empat, yaitu:
1. Bangkai, yang termasuk ke dalam kategori bangkai ialah hewan yang mati dengan tidak disembelih, termasuk ke dalamnya hewan yang matinya dicekik, dipukul, jatuh, ditanduk dan diterkam oleh hewan buas, kecuali yang sempat disembelih. (QS. Al Maidah: 3)
2. Darah, sering pula diistilahkan dengan darah mengalir (QS. Al An’am: 145)
3. Daging babi, kebanyakan ulama sepakat menyatakan bahwa semua bagian babi yang dapat dimakan adalah haram, sehingga baik dagingnya, lemaknya, tulangnya, termasuk produk-produk yang mengandung bahan tersebut, termasuk semua bahan yang dibuat dengan menggunakan bahan-bahan tersebut sebagai salah satu baahn bakunya.
4. Binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah. Menurut HAMKA, ini berarti juga binatang yang disembelih untuk yang selain Allah (diantaranya makanan dan minuman yang ditujukan untuk sesajian). Tentu saja semua bagian bahan yang dapat dimakan dan produk turunan dari bahan ini juga haram seperti berlaku pada babi.
Selain keempat kelompok makanan yang diharamkan tersebut, terdapat pula kelompok makanan yang diharamkan karena sifatnya yang buruk seperti dijelaskan dalam Al Qur'an Surat Al-A`raaf:157 “.....dan menghalalkan bagi mereka segala hal yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala hal yang buruk.....” Apa-apa saja yang buruk tersebut agaknya dicontohkan oleh Rasulullah dalam beberapa Hadits, di antaranya Hadits Ibnu Abbas yang dirawikan oleh Imam Ahmad dan Muslim dan Ash Habussunan: Telah melarang Rasulullah saw memakan tiap-tiap binatang buas yang bersaing (bertaring, penulis), dan tiap-tiap yang mempunyai kuku pencengkraman dari burung. Sebuah Hadits lagi sebagai contoh, dari Abu Tsa`labah: Tiap-tiap yang bersaing dari binatang buas, maka memakannya adalah haram (perawi Hadits sama dengan Hadits sebelumnya).
Minuman tertentu saja dari semua jenis minuman yang diharamkan yaitu khamar. Yang dimaksud dengan khamar yaitu minuman yang memabukkan sesuai dengan penjelasan Rasulullah saw. berdasarkan Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud dari Abdullah bin Umar: Setiap yang memabukkan adalah khamar (termasuk khamar) dan setiap khamar adalah diharamkan. Dari penjelasan Rasulullah tersebut jelas bahwa batasan khamar didasarkan atas sifatnya, bukan jenis bahannya, bahannya sendiri dapat apa saja. Dalam hal ini ada perbedaan pendapat mengenai bahan yang diharamkan, ada yang mengharamkan khamar yang berasal dari anggur saja. Akan tetapi ada pendapat yang mengharamkan semua bahan yang bersifat memabukkan, tidak perlu dilihat lagi asal dan jenis bahannya, hal ini didasarkan atas kajian Hadits-Hadits yang berkenaan dengan itu, juga pendapat para ulama terdahulu. Mengenai sifat memabukkan sendiri dijelaskan lebih rinci lagi oleh Umar bin Khattab seperti diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sebagai berikut: Kemudian daripada itu, wahai manusia, sesungguhnya telah diturunkan hukum yang mengharamkan khamar. Ia terbuat dari salah satu lima unsur: anggur, korma, madu, jagung dan gandum. Khamar itu adalah sesuatu yang mengacaukan akal. Jadi sifat mengacaukan akal itulah yang dijadikan patokan. Sifat mengacaukan akal itu di antaranya dicontohkan dalam Al-Quran yaitu membuat orang menjadi tidak mengerti lagi apa yang diucapkan seperti dapat dilihat pada Surat An-Nisa: 43. Keharaman khamar ditegaskan pula dalam Al-Quran Surat Al-Maaidah ayat 90-91.
2. Zakat
Zakat adalah mengeluarkan sejumlah harta tertentu untuk golongan yang berhak menerimanya (mustahiq) dengan syarat-syarat tertentu. Hukum mengeluarkan zakat adalah fardhu ‘ain. (Depag, 2004: 26)
Berdasarkan pada At Taubah: 60 ada delapan golongan yang berhak mendapatkan zakat, pertama, orang fakir yaitu orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya, kedua, orang miskin yaitu orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan, ketiga, amil (pengurus zakat) yaitu orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat, keempat muallaf, yaitu orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah, kelima, memerdekakan budak, yaitu mencakup juga untuk elepaskan muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir, keenam, gharimin, yaitu orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya, ketujuh, sabilillah, yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin, di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit, dan lain-lain, kedelapan, orang–orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat.
3. Shadaqoh
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (Al Baqarah: 195)
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini (S. Al Baqarah: 195) turun berkenaan dengan hukum nafkah. (Diriwayatkan oleh al-Bukhari yang bersumber dari Hudzaifah).
Perbedaan antara zakat, infaq, shadaqah:
a. Zakat terikat oleh waktu, sedangkan infaq dan shadaqoh dapat dilakukan kapan saja
b. Zakat diperuntukkan bagi golongan tertentu (delapan asnaf) sedangkan infaq dan shadaqoh dapat diberikan kepada siapa saja.
c. Zakat merupakan kewajiban, sedangkan infaq dan shadaqah merupakan anjuran. (Depag, 2004: 34)
4. Bagi hasil
Bagi hasil atau profit sharing dalam kamus Ekonomi, diartikan sevagai pembagian laba. Secara definitif, profit sharing diartikan sebagai distribusi beberapa bagian dari laba para pegawai dari suatu perusahaan. Lebih lanjut dikatakan, bahwa hal itu dapat berbentuk suatu bonus uang tunai tahunan yang didasarkan pada laba yang diperoleh pada tahun-tahun sebelumnya, atau dapat berbentuk pembayaran mingguan atau bulanan.pihak-pihak yang terlibat dalam kepentingan bisnis harus melakukan transaparansi dan kemitraan secara baik dan ideal.
Dasar pijakan yang digunakan dalam penentuan dan penggunaan sistem bagi hasil:
a. Doktrin kerjasama dalam ekonomi Islam dapat menciptakan kerja produktif sehari-hari dari masyarakat (QS Albaqarah: 190)
b. Meningkatkan kesejahteraan dan mencegah kesengsaraan sosial (QS Ali Imran: 103, Al Maidah: 3, dan At Taubah: 71 & 105)
c. Mencegah penindasan ekonomi dan distribusi kekayaan yang tidak merata (QS Al Isra: 16, Al Haqqah; 25-37, Al Fajr: 17-20, dan Al Maa’un: 1-7)
d. Melindungi kepentingan ekonomi lemah (QS An Nisa: 5-10; 74-76, Al Fajr: 17-26)
e. Membangun organisasi yang berprinsip syarikat, sehingga terjadi proses yang kuat membantu yang lemah (QS Az Zukhruf: 32)
f. Pembagian kerja atau spesialisasi berdasarkan saling ketergantungan serta pertukaran barang dan jasa karena tidak mungkin berdiri sendiri (QS Al Lail: 8-10, At Tariq: 6)
Peranan bagi hasil bagi stabilitas ekonomi dan distribusi pendapatan:
a. Sistem bagi hasil akan menciptakan suatu tatanan ekonomi yang merata. Sistem bagi hasil menjamin alokasi sumber ekonomi yang lebih baik dan terjadinya distribusi pendapatan yang lebih sesuai.
b. Efisiensi sistem bagi hasil adalah lebh dapat dipercaya dibandingkan sistem bunga, karena pertama, menurut Siddiqi, bahwa the supply of enterpreneurship is likely to be large in a profit sharing system as a compared with an interest-based system, since the obligation of fixed interest payment discourages the marginal enterpreneur. Sehingga tingkat keuntungan yang diharapkan akan membantu menunjukkan situasi pasar yang lebih sempurna untuk pengalokasian sumber dana dan tidak adanya bunga tidak menimbulkan banyak masalah di kemudian hari. Kedua, pengalokasian sumber dana melalui mekanisme penentuan rasio atau tingkat bagi hasil bagi penabung, pemilik bank, dan pengusaha akan lebih rasional dan efisien daripada yang dilakukan oleh lembaga yang menggunakan sistem bunga.
c. Jika dalam suatu usaha bersama yang menggunakan konsep bagi hasil mengalami resiko, maka masing-masing pihak akan berpartisipasi dalam kerugian dan keuntungan. Hal ini menunjukkan keadilan dalam distribusi pendapatan.
B. PEMBAHASAN
A. Urgensi Penerapan Minimarket Syariah
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa peran dan tugas manusia hidup di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah SWT (QS Ad-Dzarriyat:56). Di samping manusia juga diangkat oleh Allah SWT untuk menjadi khalifah di muka bumi (QS. Al-Baqarah:30).
Dalam menjalankan peran tersebut, manusia harus mengikuti tata nilai yang telah ditetapkan Allah SWT. Tata nilai tersebut mengacu pada tujuan hidup manusia, yaitu kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat. Tugas dan peran itulah yang menjadi dasar konsep manusia dalam berusaha (Iwan Ponjowinoto dalam Modul SELect KSEI, 2003), antara lain sebagai berikut :
a) Berusaha hanya untuk mengambil yang halal dan yang baik (Thoyyib) tersirat dalam QS. Al-Baqarah: 168
b) Memperoleh hasil usaha hanya melalui perniagaan yang berlaku secara ridho sama ridho karena saling memberi manfaat (QS, An Nissa:29)
c) Fungsi uang yang utama adalah sebagai alat tukar nilai dalam transaksi
d) Berlaku adil dalam menghindari keraguan yang merugikan dan menghindari resiko yang melebihi kemampuan (QS. Al-Maidah:8; QS. Al An’am: 152; QS,Ar-Rahman:7,8,9; Qs Al Faatir:5; Qs Al-Baqarah:219)
e) Menjalankan usaha harus memenuhi semua ikatan yang telah disepakati dan manusia harus bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan. (QS.Al Maidah: 1; QS. Az-Zukhruf: 32)
Dari konsep yang telah dipaparkan di atas, dapat dibandingkan karakter antara bisnis Islami dengan bisnis non Islami, sebagaimana dalam tabel 1.
Tabel 1. Perbedaan Karakter Bisnis Islam dan Non Islam (Yusanto & Karebet: 2002 dalam Modul SELect 2003)
ISLAMI KARAKTER BISNIS NON ISLAMI
Aqidah Islam (nilai-nilai transendental) ASAS Sekularisme nilai-nilai material
Dunia akhirat MOTIVASI Dunia
Profit dan benefit (nonmaterial/ Qimah), pertumbuhan, kaberlangsungan, keberkahan ORIENTASI Profit, pertunbuhan, keberlangsungan
Tinggi, bisnis adalah bagian ibadah ETOS KERJA Tinggi, bisnis adalah kebutuhan duniawi
Maju dan produktif, konsekuensi keimanan dan manifestasi kemusliman SIKAP MENTAL Maju dan produktif sekaligus konsumtif konsekuensi aktualisasi diri
Cakap dan ahli di bidangnya, konsekuensi dan kewajiban seorang muslim. KEAHLIAN Cakap dan ahli di bidanganya, konsekuensi dan reward dan punishment
Terpercaya dan bertangungjawab, tujuan tidak menghalalkan cara AMANAH Tergantung kemauan individu (pemilik kapital), tujuan menghalalkan cara
Halal MODAL Halal dan haram
sesuai dengan akad kerjanya SDM Sesuai dengan akad kerjanya atau sesuai dengan pemilik modal
Halal SUMBER DAYA Halal dan Haram
Visi dan misi organisasi terkait erat dengan penciptaan manusia di Dunia MENEJEMEN STARATEGIK Visi dan misi organisasi ditetapakn berdasarkan kepentingan material belaka
Jaminan halal bagi setiap masukan, proses dan keluaran, mengedepankaan prodektivitas dalam koridor syariah MANAJEMEN OPERASI Tidak ada jaminan halal bagi setiap masukan, proses dan keluaran, mengedepankan prodektivitas dalam koridor manfaat
Jaminan halal bagi setiap masukan, proses dan keluaran keuangan MANAJEMEN KEUANGAN Tidak ada jaminan halal bagi setiap masukan, proses dan keluaran masukan
Pemasaran dalam koridor jamian halal MANAJEMEN PEMASARAN Pemasaran menghalalkan segala cara
SDM profesional dan berkepribadian islami, SDN adalah pengelola bisnis, SDM bertanggungjawab pada diri, majikan dan Alloh SWT MANAJEMEN SDM SDM profesional, SDM adalah faktor produksi, SDM bertanggungjawab pada diri dan majikan.
Setiap bisnis yang dilakukan oleh setiap muslim harus menempatkan syari’at (jalan/ hukum atau aturan) sebagai nilai utama sebagai payung strategis maupun taktis. Dengan adanya kendali syariat, bisnis bertujuan untuk mencapai empat hal utama, sebagai berikut:
a) Target hasil, tidak hanya semata-mata mencari profit (keuntungan) yang bersifat materi dan benefit (keuntungan atau manfaat), tetapi juga non materi kepada internal perusahaan maupun eksternal (lingkungan), seperti terciptanya persaudaraan, kepedulian sosial dan sebagainya.
b) Pertumbuhan, artinya upaya agar profit dan benefit yang sudah di raih terus meningkat.
c) Keberlangsungan dengan kurun waktu selama mungkin dengan tetap sesuai koridor syariah.
d) Keberkahan atau keridha’an Allah SWT, sehingga harus diperhatikan hal yang menodai diterimanya setiap amal manusia agar mendapat keberkahan dan keridhoan Allah SWT, yaitu niat yang ikhlas dan sesuai dengan tuntunan syariat.
Dengan adanya Minimarket syariah ini para konsumen dapat terlindungi haknya sebagai konsumen dari produk-produk yang terlarang bahkan yang mengecewakan. Karena setiap orang harus dapat menghindari dari perbuatan memakan riba, yang dilakukan dengan menjalankan aktivitas ekonomi berdasarkan aktivitas bagi hasil. Selanjutnya, dalam menjalankan aktivitas ekonomi dan bisnis harus diawali dengan akad yang jelas, dilakukan pencatatan, tidak berlebihan (israf), moderat dalam melakukan konsumsi untuk mengurangi timbulnya kelangkaan, dan memenuhi kewajiban kepada masyarakat dengan membayar zakat. Setiap muslimin harus meninggalkan aktivitas ekonomi dan bisnis yang mengandung unsur khiyana’, tanajush, gharar, dan semua bentuk spekulatif dalam transaksi bisnis. Konsep itu semuanya diterapkan dalam Minimarket syariah. Secara garis besar, Minimarket syariah terhindar dari H.MAGHRIB, yaitu barang yang haram, adanya maysir, gharar, dan riba. Secara detail akan dijelaskan dalam pembahasan selanjutnya.
B. Minimarket Syariah yang Peduli Umat
Minimarket syariah merupakan satu konsep Minimarket yang dikemas disesuaikan dengan bisnis yang sesuai dengan syariat. Minimarket tersebut memiliki beberapa perbedaan dengan bisnis yang lainnya (yang notabene) tidak sesuai dengan syariat Islam. Seperti yang telah kita ketahui di awal bahwa banyak kasus yang menjelaskan produsen hanya mengagung-agungkan laba tanpa memperdulikan konsumen, dengan tidak adanya jaminan kehalalan dari produk yang ditawarkan. Serta biasanya tidak ada pencantuman label kadaluwarsa pada produk tersebut. Minimarket syariah menawarkan suatu konsep model Minimarket baru yang sesuai dengan konsep Islam dan sesuai dengan prinsip syariah. Mulai dari modal yang digunakan dalam bisnis adalah syariah, tidak mengandung riba. Manajemen yang diberlakukan sedemikian rupa sehingga apabila kita memasuki Minimarket syariah kita serasa wisata ruhiyah. Sedangkan semua produk yang ditawarkan di dalamnya adalah produk yang dijamin kehalalannya dan kethayyibannya, karena selain produk mendapatkan sertifikasi halal dari LP-POM MUI, tapi juga jaminan terhindar dari kadaluwarsa suatu produk. Halal tersebut tidak hanya terbatas pada segi perolehan maupun pendayagunaanya (pengelolaan dan pendayagunaan) yang tersirat dalam QS. Al An’am: 141.
1. Permodalan atau Pembiayaan Usaha
Dana yang dijadikan modal dalam usaha Minimarket syariah ini berasal dari modal yang syariah, yang tidak mengandung unsur riba. Berikut ini dipaparkan berbagai pilihan pembiayaan atau permodalan yang bisa dilakukan oleh pihak Minimarket syariah dalam hal modal awal dan modal tambahan pada periode berjalan, yaitu pada tabel 2.
Tabel 2. Produk Pembiayaan (Susanto, 2006: 72)
No Produk Prinsip Syariah
1. Pinjaman kebajikan dan lunak usaha mikro Al Qardul hasan
2. Pembiayaan modal kerja Mudharabah, musyarokah
3. Pembiayaan proyek Mudharabah, musyarokah
4. Pengadaan barang investasi (jual beli barang) Murabahah
5. Produksi agri bisnis/ sejenis Salam, salam pararel
6. Manufaktur, konstruksi Istishna’, istishna’ pararel
11 Sewa beli Ijarah muntahiyyah bittamlik
12 Sewa dengan opsi pemindahan hak Ijarah muntahiyyah bittamlik
13 Anjak piutang Hiwalah
14 Transfer, inkaso, kliring Wakalah
15 Dana talangan Qardh
2. Manajemen
Manajemen dengan fungsi, unsur, kegiatan serta prosesnya yang menempatkan manusia sebagai postulat dan fokusnya, tidaklah bisa dilepaskan dan risalah Islamiyah yang memuat hubungan manusia dengan tuhannya dalam akidah, syariah, dan akhlaq.
Jauh sebelum frederick W. Taylor dan Henry Fayol (dalam Hidayat, 2003; 82) mengangkat prinsip manajemen sebagai suatu disiplin ilmu, Nabi Muhammad SAW sudah mengimplementasikan nilai-nilai manajemen dalam kehidupan dan praktek bisnisnya. Beliau telah dengan sangat baik memanage proses, transaksi, dan hubungan bisnis dengan seluruh elemen bisnis serta pihak yang terlibat di dalamnya. Sebagaimana gambaran beliau memanage bisnisnya, Prof. Afdzalul Rahman mengungkapkan:
“Muhammad did his dealing honestly and fairly and never gave his customers to complain. He always kept his promise and delivered on time the goods of quality mutually agreed between the parties. He always showed a great sense of responsibility and integrity in dealing with other people”
(Hidayat, 2003; 82)
Komitmen, loyalitas, kejujuran, keadilan merupakan sifat dan sikap yangada pada diri Rasulullah dalam menjalankan dan memanage bisnis selama hidup beliau hingga semua pelanggan tidak merasakan kekecewaan dan mereka memiliki loyalitas yang tinggi, dan hal tersebutlah yang menjadi profit jangka panjang dalam bisnis beliau.
Manajemen syariah itu universal, karena manajemen itu lebih kepada soft skill, lebih kepada kebiasaan, norma, strategi. Karena melihat keempat hal ini, maka peluangnya terbuka luas. Terutama dari sisi SDM, sisi operasi, dari sisi pemasaran, dan keuangan. Ini yang standar-standar saja, dan ini semua bisa dimasukan oleh norma manajemen. Hal itu juga seperti dikatakan dalam Al-Quran, Sunnah, rukun Islam, rukun iman dan sepanjang sejarah mereka memiliki kebijakan itu. Bahkan dalam ritual-ritual seperti doa, sholat, puasa bisa sangat berpengaruh ke dalam efektivitas manajemen terutama untuk pengembangan SDM, serta untuk manajemen keuangan dapat lebih transparan.
Dalam Minimarket syariah ini, selain mengacu pada manajemen yang dicontohkan Rasulullah,ada beberapa prinsip baru dalam menjalankan Minimarket syariah ini. Diantaranya adalah:
a) Manajemen barang yang dijual
1) Semua produk yang ada di Minimarket syariah adalah produk yang dijamin kehalalannya, yaitu produk-produk yang mendapat sertifikasi halal dari LP-POM MUI.
2) Barang yang dijual tidak mengandung unsur H. MAGHRIB (haram, maysir, gharar, dan riba)
3) Harga murah
4) Barang jelek/ rusak tidak disembunyikan, dan informasi expired produk yang dijual
5) Melayani pembelian bagi orang miskin, khususnya masyarkat sekitar (pembahasan lebih lanjut ada pada pembahasan zakat)
b) Manajemen model usaha
1) Timbangan yang pas, tidak mengurangi
2) Pengelolaan keuangan secara mandiri oleh investor dengan pendampingan dari lembaga keuangan syariah
3) Pelayanan konsumen yang prima (5 eS, melayani, terima kasih)
4) Melayani pembelian grosir dan eceran
5) Pembayaran zakat dari laba usaha (dijelaskan pada pembahasan berikutnya)
6) Kaligrafi dan pesan-pesan ibadah (dapat berupa hadist) selalu menghiasi Minimarket syariah
7) Nasyid yang memberi pesan kepada semua pelanggannya selalu mengalun untuk mendukung suasana religi
8) Pramuniaga senantiasa mengingatkan semua pelanggannya agar tidak berlebih-lebihan dalam membelanjakan uangnya sesuai dengan pola konsumsi sesuai syariah “Belilah barang karena barang itu berguna. Jangan membeli barang yang tak ada gunanya sama sekali dengan cara merugikan diri sendiri”, sesuai dengan QS. Al A’raaf; 31.
9) Adanya pengawasan dari ulama-ulama yang tergabung dalam DPS (Dewan Pengawas Syariah) untuk menjaga Minimarket syariah tersebut tetap bejalan sesuai dengan prinsip dan norma syariah, baik dari segi produk-produk yang dijual maupun proses pengoperasionalnya.
10) Minimarket syariah ini tidak melakukan potongan harga atau diskon besar-besaran yang biasanya banyak dilakukan oleh pusat perbelanjaan guna menarik calon pembeli saat musim belanja lebaran tiba. Apabila pusat perbelanjaan yang lain selalu membuka undian bagi pelanggannya, ini tidak berlaku untuk Minimarket syariah karena undian sendiri adalah haram hukumnya (sesuai QS Al Maidah:3) tapi kalaupun ada, hadiahnya merupakan hadiah langsung.
11) Orientasinya profit jangka panjang bukan jangka pendek, selain loyalitas pelanggan dengan manajemen dan pemasaran yang syariah, ridha Allah adalah yang utama.
c) Manajemen sumber daya manusia
1) Semua pramuniaga mengenakan pakaian yang menutup aurat, yaitu wanita mengenakan jilbab, sedangkan pria mengenakan baju koko modern dengan peci putih di kepalanya.
2) Di dalam Minimarket disediakan tempat ibadah (mushola) yang tidak hanya digunakan untuk shalat berjama’ah, tapi juga kadang diadakan kajian di mushola tersebut.
3) Pagi, sebelum bekerja, diisi dengan siraman rohani/ pengajian/ kultum dengan pembicara secara bergantian antar karyawan
4) Melaksanakan achievement motivation training (AMT) berlandaskan Islam, untuk menyatukan visi dan misi
5) Materi rekruitmen karyawan menyertakan juga materi agama Islam
3. Produk
a) Makanan dan Minuman
Berdasarkan landasan teori yang telah disampaikan sebelumnya, keharaman suatu bahan pangan dapat disebabkan oleh karena bahan asalnya (babi dan turunannya, binatang buas, bangkai), sifatnya (memabukkan), dan cara penyembelihan hewan halal (tidak mengikuti syariat Islam). Dari segi teknologi, titik kritis yang harus diperhatikan dalam kaitannya dengan makanan dan minuman halal ialah jenis dan asal bahan serta cara penyembelihan.
Pada dasarnya ada tiga jenis kategori bahan makanan dan minuman yang diharamkan yaitu: pertama, minuman yang memabukkan; kedua, produk hewani (bagian yang dapat dimakan dari babi, bagian yang dapat dimakan dari hewan yang tidak disembelih menurut syariat Islam, darah, bangkai dan turunan dari bahan-bahan yang berasal dari produk hewani yang telah disebutkan, sebagai contoh asam stearat yang berasal dari lemak babi); ketiga, bahan tambahan makanan yang mengandung unsur-unsur bahan yang termasuk ke dalam kategori haram.
Tabel 3. Contoh nama yang tidak menjamin kandungan yang sebenarnya* (Apriyantono, 2006)
Nama Produk Bahan Baku
Sosis sapi daging sapi, lemak (bisa sapi atau hewan lainnya), tetelan babi
Pasta hati angsa hati angsa, daging babi, lemak babi atau angsa
Pasta hati unggas umumnya (ayam, kalkun, angsa) daging babi, daging unggas, lemak (bisa babi atau hewan lainnya), hati (bisa hati unggas, bisa juga hati babi), jantung unggas, dll
*Wihelm (dalam Apriyantono, 2006) Dengan demikian, diperlukan ketelitian yang sangat tinggi terhadap pemeriksaan kehalalan sosis-sosis impor yang masuk ke Indonesia, dan hal ini hanya bisa dilakukan oleh ahlinya, jika tidak awam tidak akan tahu komposisi yang sebenarnya. Di samping itu, masalah lainnya tentu saja perlu juga jelas bagaimana penyembelihan hewan-hewan yang digunakan untuk membuat sosis tersebut.
Kategori hewan kecil, terutama kulit babi, di samping diolah langsung menjadi bahan sejenis sosis yang transparan, juga sebagian besar diproses lebih lanjut menjadi gelatin. Dari cara pembuatannya, ada dua jenis gelatin yaitu gelatin tipe A dan tipe B. Gelatin tipe A adalah gelatin yang umumnya dibuat dari kulit hewan muda (terutama babi), sehingga proses pelunakannya dapat dilakukan dengan cepat yaitu dengan sistim perendaman dalam larutan asam (A=acid). Gelatin tipe B adalah gelatin yang diolah ari bahan baku yang keras seperti dari hewan tua dan tulang, sehingga proses perendamannya perlu lama dan larutan yang digunakan yaitu larutan basa (B=base). Oleh karena itu, keliru jika orang menganggap B adalah singkatan dari Beef (sapi).
Fungsi gelatin pada produk pangan olahan pada kebanyakan kasus dapat digantikan dengan bahan lain, jadi untuk produk-produk yang disajikan dalam tabel tidak berarti pasti mengandung gelatin, hanya mungkin mengandung gelatin, untuk memastikannya diperlukan pemeriksaan yang teliti, dengan demikian produk yang sudah diteliti dan disertifikasi oleh LP-POM MUI misalnya, tentunya telah terjamin kehalalannya.
Tabel 4. Contoh-contoh produk yang biasa menggunakan gelatin
Jenis Produk Fungsi dan contoh produk
Produk pangan secara umum sebagai zat pengental, penggumpal, membuat produk menjadi elastis, pengemulsi, penstabil, pembentuk busa, menghindari sineresis, pengikat air, memperbaiki konsistensi, pelapis tipis, pmerkaya gizi.
Daging olahan Untuk meningkatkan daya ikat air, konsistensi dan stabilitas produk sosis, kornet, ham, dll.
Susu olahan Untuk memperbaiki tekstur, konsistensi dan stabilitas produk dan menghindari sineresis pada yoghurt, es krim, susu asam, keju cottage, dll.
Bakery Untuk menjaga kelembaban produk, sebagai perekat bahan pengisi pada roti-rotian, dll.
Minuman Sebagai penjernih sari buah (juice), bir, dan wine.
Buah-buahan Sebagai pelapis (melapisi pori-pori buah sehingga terhindar dari kekeringan dan kerusakan oleh mikroba) untuk menjaga kesegaran dan keawetan buah.
Farmasi Pembungkus kapsul atau tablet obat.
Film Membuat film menjadi lebih sensitif, sebagai pembawa dan pelapis zat warna film.
Kosmetika (khususnya produk-produk emulsi) Digunakan untuk menstabilkan emulsi pada sampo, penyegar dan pelindung kulit (lotion/cream), sabun (terutama yang cair), lipstik, cat kuku, busa cukur, krim pelindung sinar matahari, dll.
Kehalalan suatu produk pangan pada era global ini menjadi kompleks, memerlukan penanganan yang serius karena banyak kemungkinan yang dihadapi yang dapat sampai haramnya atau halalnya suatu produk pangan. Di samping itu, pekerjaan pemeriksaan kehalalan suatu produk pangan tidak bisa sembarangan, memerlukan ketelitian tinggi, memerlukan pengetahuan asal usul bahan dan proses pengolahan pangan itu sendiri, dan yang terpenting analisis laboratorium tidak dapat dijadikan andalan menentukan kehalalan suatu produk pangan. Mungkin bekal yang terpenting yang berkaitan dengan bahan ialah pengetahuan yang mendalam mengenai bahan itu sendiri. Di samping itu, diperlukan metode pemeriksaan yang tepat dan pembentukan sistem jaminan halal yang handal.
Tabel 5. Bahan tambahan makanan yang termasuk kelompok diragukan kehalalannya (syubhat). (Apriyantono, 2006)
Nama bahan dan kode Asal/pembuatan Fungsi Contoh produk yang menggunakan
Potasium nitrat (E252) Dapat dibuat dari limbah hewani atau sayuran Pengawet, kuring, mempertahankan warna daging Sosis, ham, Dutch Cheese
L-(+)-asam tartarat (E334) Kebanyakan sebagai hasil samping industri wine Antioksidan, pemberi rasa asam Produk susu beku, jelly, bakery, minuman, tepung telur, wine, dll.
Turunan-turunan asam tartarat E335, E336, E337, E353 (dari E334) Dapat berasal dari hasil samping industri wine antioksidan, buffer, pengemulsi, dll sama dengan di atas
Gliserol/gliserin (E422) Hasil samping pembuatan sabun, lilin dan asam lemak dari minyak/lemak (dapat berasal dari lemak hewani) pelarut flavor, menjaga kelembaban (humektan), plasticizer pada pengemas Bahan coating untuk daging, keju, cake, desserts, dll
Asam lemak dan turunannya, E430, E431, E433, E434, E435, E436 Dapat berasal dari turunan hasil hidrolisis lemak hewani Pengemulsi, penstabil, E343:antibusa Produk roti dan cake, donat, produk susu: es krim, desserts beku; minuman, dll
Pengemulsi yang dibuat dari gliserol dan/atau asam lemak (E470 - E495) Dapat dibuat dari hasil hidrolisis lemak hewani untuk menghasilkan gliserol dan asam lemak Pengemulsi, penstabil, pengental, pemodifikasi tekstur, pelapis, plasticizer, dll Snacks, margarin, desserts, coklat, cake, puding
Edible bone phosphate (E542) Dibuat dari tulang hewan Anti caking agent, suplemen mineral Makanan suplemen
Asam stearat Dapat dibuat dari lemak hewani walaupun secara komersil dibuat secara sintetik Anticacking agent
L-sistein E920 Dapat dibuat dari bulu hewan/unggas dan di Cina dibuat dari bulu manusia Bahan pengembang adonan, bahan dasar pembuatan flavor daging Tepung dan produk roti, bumbu dan perisa (flavor)
Wine vinegar dan malt vinegar Masing-masing dibuat dari wine dan bir pemberi flavor bumbu-bumbu, saus, salad
Berdasarkan uraian tersebut di atas, sangatlah banyak produk yang kemungkinan besarnya digolongkan ke dalam produk yang diragukan kehalalannya atau bahkan bisa dikatakan haram. Dalam Minimarket syariah semua produk yang disajikan kepada konsumen adalah halal, dan mendapat jaminan dengan adanya sertifikasi dari LP-POM MUI yang bisa didapatkan dari MUI langsung atau mengakses ke website www.halalguide.info.
b) Obat dan Kosmetika
Wakil LPPOM MUI Anna Priangani Roswiem berujar, dalam dunia farmasi dan kosmetika, penggunaan hormon, enzim, dan lemak babi sudah bukan rahasia lagi. “Gelatin yang terbuat dari lemak babi sudah biasa digunakan sebagai bahan pembuat kapsul,”kata wanita berjilbab ini mencontohkan.
Vaksin penyakit tertentu juga dibuat dengan menggunakan medium yang disebut kultur sel. Bahan medium itu bervariasi, mulai dari ginjal monyet, embrio ayam, hingga plasenta bayi yang baru lahir atau diaborsi. Contoh vaksin yang menggunakan bahan-bahan haram atau najis itu, sebut Anna, antara lain vaksin untuk penyakit Polio, Rabies, Hepatitis A, Hepatitis B dan Cacar.
Sementara itu dalam dunia kecantikan banyak terobosan baru yang menggunakan bahan-bahan yang dianggap haram. Seperti Botox. Anna menjelaskan, produk itu berisi toksin dari bakteri Clostridium Botulinum. Toksin tersebut disuntikkan ke bagian tubuh manusia dengan pelarut dari bahan dasar plasenta hewan atau manusia. “Plasenta hewan yang digunakan bisa berasal dari hewan apa saja,” tandas dia.
Teknologi pembuatan kosmetika sama pesatnya dengan perkembangan teknologi pangan. Di dalamnya banyak penggunaan bahan dari gelatin. Seperti pada pembuatan foundation dan body lotion. Sementara pemerintah Eropa sedang gencar berkampanye penggunaan gelatin babi sehubungan dengan adanya mad cow dan penyakit kuku dan mulut yang melanda sapi Eropa.
Teknologi pembuatan kosmetika saat ini sangat lekat dengan unsur subhat. Dr. Hj. Anna P. Roswiem, auditor dan staf ahli LPPOM MUI, pada World Halal Food Council di Kuala Lumpur beberapa waktu lalu mengungkap bahan-bahan yang merupakan titik kritis kehalalan dalam kosmetika yaitu:
Kolagen dan elastin berguna untuk menjaga kelenturan kulit. Zat ini sering digunakan dalam produk pelembab. Zat ini merupakan jaringan yang bisa berasal dari hewan yang haram. Plasenta dan amnion yang terutama digunakan untuk peremajaan kulit, dapat diperoleh dari hewan yang haram. Zat penstabil vitamin yang dipergunakan dalam kosmetika. Zat ini ada yang berasal dari hewan yang haram. AHA sangat berguna untuk mengurangi keriput dan memperbaiki tekstur kulit sehingga kulit halus dan kenyal. Salah satu senyawa AHA yaitu asam laktat, dalam pembuatannya menggunakan media yang berasal dari hewan yang haram. Hormon estrogen, ekstrak timus dan melantonin adalah contoh hormon yang berasal dari hewan haram yang dapat digunakan dalam kosmetika.
Sampai saat ini baru PT. Pusaka Tradisi Ibu yang mempunyai produk yang seluruhnya sudah memperoleh sertifikat halal LPPOM MUI yaitu Wardah dan Zahra.
4. Zakat
Salah satu perbedaan Minimarket syariah dengan pusat perbelanjaan yang lain adalah kepedulian terhadap umat. Sesuai dengan tuntutan Islam semua hal harus dilakukan pada dua dimensi, yaitu hablumminannaas dan hablumminallaah. Di sini akan dipaparkan bentuk-bentuk kepedulian terhadap umat, diantaranya adalah sebagian dari laba (2,5%) digunakan untuk zakat (sebagai bentuk ketaatan pada kewajiban dari Allah). Dan ada pula konsep lain, yaitu kepedulian dalam bentuk kartu dhuafa.
Sebagai rukun Islam, maka ia wajib dilakukan sebagai bentuk salah satu dimensi vertikal, yaitu zakat sebagai salah bukti keimanan seorang muslim kepada Allah SWT. Selain dimensi vertikal, zakat juga memiliki banyak dimensi horizontal yang berdampak luas. Luas dalam artian tidak hanya berdampak pada muslim saja namun bagi semua aspek lingkungan yang terlibat dengannya, bak langsung maupun tidak langsung. Hafiduddin dalam Sulistyowati (2007) menyebutkan bahwa sedikitnya ada lima manfaat dan hikmah dari ibadah zakat. Pertama, sebagai perwujudan iman kepada Allah SWT, mensyukuri nikmatNya, menumbuhkan akhlak mulia dengan rasa kemanusiaan yang tinggi, menghilangkan sifat kikir dan rakus, menumbuhkanketenangan hidup, sertamengembangkan harta yang dimiliki. Kedua, menolong, membantu dan membina kaum orang yang lemah secara ekonomi (dhuafa) maupun kaum penerima zakat (mustahik) lainnya ke arah kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi kehidupannya dengan layak, dapat beribadah kepada Allah SWT, terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus memberantas sifat iri dan dengki yang mungkin timbul ketika mereka (orang-orang fakir miskin) melihat orang kaya yang berkecukupan hidupnya tidak memperdulikan mereka. Ketiga, sebagai sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana yang dibutuhkan oleh umat, seperti sarana ibadah, pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi, sekaligus sarana pengembangan kualitas sumber daya manusia muslim. Keempat, untuk mewujudkan keseimbangan dalam kepemilikan dan distribusi harta sehingga diharapkan akan lahir kasih sayang (marhamah) di atas persaudaraan Islam dan budaya saling menanggung atau saling membantu (takaful ijtima’i). Kelima, menyebarkan dan memasyarakatkan etika bisnis yang baik dan benar.
Adapun aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan pengumpulan dan penyaluran zakat serta urusan lain yang berhubungan dengan itu. Diantaranya adalah mencari mustahik (pendataan), mengumpulkan, mentransformasikan, menggudangkan, menyimpan, menginvestasikan zakat sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan yang digambarkan dalam gambar 2.
Gambar 2. Alur aktivitas zakat
Bentuk kepedulian yang kedua adalah kartu dhuafa. Kartu ini khusus diberikan kepada mereka kaum dhuafa dengan kelebihan ketika kartu tersebut digunakan untuk berbelanja di Minimarket syariah, maka orang yang memegangnya atau yang memilikinya (kaum dhuafa) akan mendapatkan potongan harga guna menyesuaikan dengan daya beli masyarakat yang lain. Selain itu, kartu tersebut digunakan ketika ada pembagian zakat, infaq, dan shadaqoh.
Bentuk penjagaan kartu tersebut dari penyalahgunaan kartu tersebut, maka dilakukan sistem pengendalian intern dengan cara adanya foto dari pemilik kartu tersebut pada kartu yang dimilikinya. Selain itu, sebagai bentuk kepedulian terhadap masyarakat ada pengenalan semua pegawai di mini market tersebut dengan masyarakat sekitar. Sehingga hampir semua pegawai (terutama teller) mengenal pemegang kartu.
Pendataan kaum dhuafa ini dilakukan bersama dengan pendataan zakat. Dan kartu tersebut digunakan sebagai bukti penerima zakat, infaq, dan shodaqoh dari Minimarket syariah.
Minimarket syariah yang mendukung perkembangan dan stabilitas ekonomi tersebut perlu dikembangkan. Dalam hal ini, Minimarket syariah dikembangkan dengan cara franchise maupun ritel yang menawarkan berbagai macam keuntungan yang halal dan bebas dari riba dan semua hal yang terlarang dalam Islam.
C. PENUTUP
Dari semua yang telah penulis kemukakan tentang Minimarket syariah yang merupakan penerapan Minimarket peduli umat, maka dapat diambil kesimpulan sebagai Bahwa urgensi penerapan Minimarket syariah yaitu dengan adanya konsep semua ekonomi dan bisnis yang dilakuakan oleh Minimarket syariah tidak mengandung H.MAGHRIB (haram, maysir, gharar, dan riba). Selain itu Penerapan Minimarket syariah sebagai Minimarket peduli umat dengan adanya prinsip syariah yang dijalan secara seimbang, yaitu kehalalan semua produk, terbebas dari riba, dan adanya zakat yang dikelola sendiri dan disalurkan kepada warga sekitar, serta adanya kartu dhuafa yang bisa digunakan oleh warga dhuafa sekitar Minimarket dengan berbagai kelebihan dan manfa’at
Dengan berbagai telaah dan analisa yang penulis lakukan, penulis memiliki saran diantanya para pengusaha muslim hendaknya menerapkan konsep ini dalam bisnisnya, pemerintah harus memperhatikan kehalalan produk ynag beredar di pasaran indonesia, para konsumen harus lebi waspada terhadap kehalalan dan kethoyyiban produk yang beredar, pusat perbenlanjaan hendaknya memberikan keteranganjelas (membedakan) terhadap produk yang halal dan tidak hala, oran-orang yang mampu mengeluarka zakat (muzakki) hendaknya mengelurkan zakatnya (maal) dengan sadar kepada mustahik sebagi upaya mengentaskan kemiskinan.
D. REFERENSI
Amankah Kosmetika Kita? Artikel. Dalam http://www.ahadnet.com/produkhalal.htm
Antonio, Muhammad Syafi'i. Bangun Bisnis yang Sehat dengan Manajemen Syariah. Artikel. Dalam http://www.eramuslim.com/berita/bc2/45ef8822.htm
Apriyantono, Anton. 2007. Masalah Halal: Kaitan Antara Syar’i, Teknologi dan Sertifikasi. Artikel. Dalam http://www.halalguide.info/content/view/566/38/
Bintang Zero Persen : Halalkah? Artikel. Dalam http://www.halalmui.or.id/?module=article&sub=article&act=view&id=64
Depag. 2004. Fiqih untuk Madrasah Aliyah Kelas X. Penerbit CV Gani dan Son. Semarang
Disperindakop tertibkan 27 jenis kosmetik berbahaya. Artikel. Dalam http://www.halalguide.info/content/view/947/40/
Hasil-hasil Kajian tentang Halal-Haram (1999-2002). Artikel. Dalam http://www.halalguide.info/content/view/858/38/
Hasil Riset ACNielsen Pasar Modern Terus Geser Peran Pasar Tradisional. Artikel. Dalam http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/promarketing/2004/0622/prom1.html
Hidayat, Muhammad. 2003. Kiprah, Manajemen dan Etika Bisnis Nabi Muhammad SAW. SEF UGM. Yogyakarta. Dalam Jurnal Muamalah Vol. 2, No. 2, Oktober 2003.
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia(KAMMI) Jepang http://www.kammi-jepang.net. http://kammi-jepang.net/bulletin.php?id=7
Kehalalan Produk Pangan dalam Kemasan. Artikel. Dalam http://www.halalguide.info/content/view/905/38/
Klinik Syariah Mengetahui Produk Halal. Artikel. http://www.medanbisnisonline.com/rubrik.php?p=86492&more=1
Kosmetika Halal Tak Sekadar 'Alat' Cantik. Artikel. Dalam Republika Online
LPPOM MUI Gugat Kehalalan Obat dan Kosmetik. Artikel. Dalam http://www.halalguide.info/content/view/959/40/
Majalah Modal, Sharia Business edisi 42, 2006.
Muhammad. 2005. Pengantar Akuntansi Syariah. Jakarta: PT Salemba Empat
Rancangan UU Jaminan Produk Halal Kontribusi dari didinkan. Artikel. Dalam http://www.halalguide.info _PDF_POWERED _PDF_GENERATED 11 April, 2007
Status Halal BreadTalk dan Hoka Hoka Bento. Artikel. Dalam http://priyadi.net/archives/2005/03/10/status-halal-breadtalk-dan-hoka-hoka-bento/
Sularko, Jaka. Pengaruh Atribut Toko Terhadap Minat Beli Konsumen Pada Swalayan Sami Makmur Palur Karanganyar. Artikel.
Sulistyowati, Widya. 2007. Analisis Determinan Intensi Pengeluaran Zakat Harta (Maal): Studi Kasus Sivitas Akademika Universitas Indonesia. PEBS FE UI. Jakarta. Dalam Jurnal JESI Vol. 1, Januari 2007.
Susanto, Anang Arief. 2007. Peluang Perbankan Syariah Dalam Pembiayaan UMKM. SEF UGM. Yogyakarta. Dalam Jurnal Muamalah Vol. 4 Januari 2007.
Tanjung, Hendri. Konsep Manajemen Syariah dalam Pengupahan Karyawan Perusahaan. Artikel. Dalam http://www.uika-bogor.ac.id/jur03.htm
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan-Balai Pustaka. Jakarta.
Tim Penyusun. . 2003. Modul SELect KSEI UNNES. Semarang
Yusanto, M. Ismail dan Widjajakusuma, M Karebet. 2002. Menggagas Bisnis Islami. Jakarta: Gema Insani Pre
Selasa, 20 April 2010
OPTIMALISASI PERANAN ZAKAT DALAM MENGATASI MASALAH
DAFTAR ISI
JUDUL 1
ABSTRAKSI 1
I. PENDAHULUAN 2
II. TUJUAN DISYARIATKANNYA ZAKAT 4
III. ZAKAT SEBAGAI KEBIJAKAN FISKAL 4
IV. PARADIGMA BARU DALAM ZAKAT; INFESTASI ZAKAT 6
A. Aturan-aturan investasi zakat 6
B. Bentuk investasi zakat 6
1. Pendanaan dengan cara takhsish (pengkhususan) 7
2. Investasi dengan cara qardh al-Hasan 7
3. Investasi dengan cara mempercepat zakat 7
4. Taqshith zakat kepada para mustahik 8
V. MELIHAT POTENSI ZAKAT DI INDONESIA 8
VI. PERANAN ZAKAT MENGATASI MASALAH SOSIO-EKONOMI 9
A. Mengatasi Masalah Sosial 9
1. Mendekatkan perbedaan antara tingkatan atau kelas masyarakat 10
2. Dapat menanggulangi persoalan pengemis di masyarakat 10
B. Mengatasi persoalan Ekonomi Masyarakat Indonesia 12
1. Mengatasi penimbunan atau monopoli 12
2. Peran Zakat Mengentas Kemiskinan dan Pengangguran 13
1. Penyaluran zakat untuk pelatihan karyawan sebagai SDM yang ahli 13
2. Penyaluran untuk menyediakan sarana infrastruktur 14
3. Menjaga keseimbangan penawaran dan permintaan tenaga kerja 14
VII. KESIMPULAN 15
DAFTAR PUSTAKA 16
Lampiran-lampiran 17
Biodata Penulis 19
OPTIMALISASI PERANAN ZAKAT DALAM MENGATASI MASALAH
SOSIO-EKONOMI MASYARAKAT INDONESIA
(Studi Kasus Pada Masyarakat Dramaga - Bogor)
Abstraksi
Gambaran umum sosio-ekonomi Bangsa Indonesia saat ini tengah menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan yang cukup serius. Hal ini membuat para pemikir, politikus, ekonom serta para ulama dan umara' bersama-sama mencari akar permasalahan sesungguhnya, untuk kemudian memberikan solusi terbaik demi tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan negeri ini. Problem utama masih bersifat klasik; Kemiskinan dan pengangguran, yang pada akhirnya menjalar pada tindakan kriminalitas, amoral dan penipuan hingga pada disintegrasi. Suatu hal yang membahayakan pada keutuhan kesatuan NKRI kita.
Tulisan ini mencoba menganalisis sejauh mana Ekonomi Islam memberikan pencerahan terhadap kemajuan perekonomian di Indonesia, memberikan kesejahteraan pada masyarakatnya, mengurangi tingkat kemiskinan, pengangguran, kejahatan, dan masalah-masalah sosioekonomi lainnya dengan pendistribusian kekayaan yang berkeadilan. Dan ternyata, berdasarkan penelitian yang penulis lakukan di wilayah Dramaga-Bogor, sebanyak 32% masyarakat rutin membayar pajak, sedangkan masyarakat yang rutin membayar zakat mencapai 98% dari seluruh sample yang diambil. Hal ini mengindikasikan, bahwa masyarakat Indonesia yang diwakili oleh wilayah Dramaga-Bogor lebih memilih rutin membayar zakat dari pada membayar pajak ke pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan jumlah responden yang setuju dengan zakat sebagai penggugur/pengurang pajak sebanyak 58%, dan sebanyak 80% responden setuju dengan pengumpulan zakat secara terpusat.
Dengan adanya kesadaran masyarakat yang cukup tinggi membayar zakat, maka hal ini akan mendorong pendistribusian harta kekayaan secara merata dan adil. Dan pada akhirnya, zakat –yang merupakan salah satu instrument dalam Ekonomi Isam– mampu mengatasi segala problematika di atas dengan penyelesaian yang cantik dan indah. Diharapkan, setelah melihat kesadaran masyarakat yang tinggi ini, pemerintah segera menurunkan UU yang tegas, bahwa zakat bukan lagi hanya bersifat sukarela (voluntary zakat system) melainkan bersifat wajib (obligatory zakat system). Lebih tegas lagi, pemerintah dapat menerapkan praktik zakat ini secara kaffah (totalitas), agar dapat mencapai puncak tujuan (aqsha al-Ghayah) dari Maqhasid al-Syariah: Mashalih Mursalah, dan menciptakan negeri ini menjadi sebuah negeri yang digambarkan al-Quran sebagai, Baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Amin
Keyword:, Zakat, Kemiskinan, Pengangguran, Ekonomi Islam.
I. PENDAHULUAN
Sejak tahun 1960-an, permasalahan ekonomi kontemporer yang terjadi hingga saat ini masih berkutat seputar Inflasi, Pengangguran dan Kemiskinan. Termasuk juga di Indonesia. Tahun 1998, merupakan puncak sejarah yang menyedihkan bagi bangsa ini. Tahun yang mengingatkan kita akan pahitnya krisis moneter dengan inflasi mencapai sekitar 70%, sebuah angka yang sangat tinggi dan menakutkan. Padahal, jika kita mau jujur, faktor utama penyebab terjadinya inflasi tersebut sebenarnya adalah bunga itu sendiri, yang telah menjadi bagian dari biaya produksi, sehingga akhirnya menjadi bagian dari harga produk yang dijual. Begitupun pengangguran yang terjadi, lebih diakibatkan dari kebijakan penurunan suku bunga hingga nol persen. Di mana hal itu akan mendorong peningkatan investasi dan meningkatkan supply barang dan jasa, kemudian akan menjadi elemen yang mampu mereduksi level harga, hingga pengangguran tercecer dimana-mana. Disamping juga disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan akan tenaga kerja, yakni penawaran tenaga kerja lebih besar dari permintaan, sehingga ada sejumlah tenaga kerja yang tidak terserap. Ini adalah akibat jika sistem ekonomi kapitalis atau sosialis dianut oleh sebuah negara; ketidakadilan dan kekacauan.
Dalam teori ilmu makro ekonomi kapitalis juga disebutkan, bahwa untuk mengetahui tingkat kesejahteraan suatu bangsa, tolok ukur yang digunakan negara-negara dunia adalah PDB. PDB dianggap sebagai barometer tingkat pertumbuhan ekonomi di suatu negara yang hingga kini masih menjadi pembanding tingkat kesejahteraan antara negara satu dengan negara lainnya di dunia. Tak terkecuali di Indonesia. Kinerja perekonomian Indonesia masih didasarkan pada PDB, sebagaimana yang dilansir oleh BPS, bahwa PDB Indonesia pada triwulan III/2007 meningkat sebesar 3,9 persen (atas dasar harga konstan tahun 2000) bila dibandingkan triwulan sebelumnya, yaitu Rp 505,8 triliun dari PDB triwulan sebelumnya, Rp 48. 6,7 triliun.
Namun, satu hal yang perlu kita ketahui, bahwa pada dasarnya nilai besaran PDB tersebut tidak bisa menunjukkan esensi kesejahteraan suatu Negara yang sebenarnya. Sebab, PDB tidak dapat merefleksikan kesejahteraan setiap individu masyarakatnya secara merata. Terbukti angka kemiskinan di Indonesia sampai bulan Maret 2007 tergolong cukup tinggi, yaitu sebesar 37,17 juta orang (16,58 persen). Selain itu, jumlah pengangguran juga pada Agustus 2007 tergolong besar, yaitu 10,01 juta.
Sistem ekonomi Islam mempunyai tolok ukur yang berbeda dengan ekonomi konvensional. Aqsha al-Ghayah li Maqashid al-Syariah dalam Ekonomi Islam adalah menciptakan Mashalih Mursalah dengan mewujudkan distribusi kekayaan yang adil dan merata. Sehingga tidak ada harta kekayaan itu berputar dalam kalangan orang-orang tertentu saja, para kapitalis. Di sinilah peluang sekaligus tantangan bagi BAZ/LAZ –yang merupakan salah satu bagian penerapan dari Ekonomi Islam– untuk bisa memulihkan kembali perekonomian nasional agar tercipta kesejahteraan rakyat bersama yang menjadi tujuan dasar syariat di atas.
Perhatian Islam terhadap penanggulangan kemiskinan dan fakir miskin tidak dapat diperbandingkan dengan agama samawi dan aturan ciptaan manusia manapun, baik dari segi pengarahan maupun dari segi pengaturan dan penerapan. Semenjak fajar baru menyingsing di kota Mekkah, Islam sudah memperhatikan masalah sosial penanggulangan kemiskinan. Adakalanya Quran merumuskannya dengan kata-kata "memberi makan dan mengajak memberi makan orang miskin" atau dengan "mengeluarkan sebagian rizki yang diberikan Allah", "memberikan hak orang yang meminta-meminta, miskin dan terlantar dalam perjalanan", "membayar zakat" dan rumusan lainnya.
Pada dasarnya, Islam banyak mempunyai instrumen-instrumen ekonomi –selain zakat– yang dapat digunakan sebagai sebuah kebijakan negara. Seperti Sedekah, Wakaf, Kharaj (pajak tanah produktif), Jizyah (poll tax, hanya untuk non muslim), Dharibah (pajak yang ditetapkan oleh pemerintah kepada seluruh masyarakat), Fai' (harta peninggalan kafir, tanpa peperangan), Ghanimah (harta rampasan dari peperangan) dan 'Usyr. Masing-masing instrumen tersebut mempunyai peranan yang sangat besar dalam menumbuhkan perekonomian, dan mengentaskan kemiskinan pada khususnya, terutama pada Wakaf. Hanya saja, agar tidak terlalu melebar dalam tulisan ini, penulis lebih spesifik membatasi pembahasan dengan mengkaji seluk-beluk zakat, potensi dan peranannya dalam mengurangi tingkat kemiskinan, pengangguran dan masalah sosioekonomi lainnya. Insya Allah.
II. TUJUAN DISYARIATKANNYA ZAKAT
Ada beberapa tujuan urgen mengapa Allah mensyariatkan zakat, yaitu: Pertama, adalah untuk bertaqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) sebab, kita telah diberi kehidupan dan rizki yang telah ditanggung. Karenanya, kita wajib mensyukurinya dengan berzakat untuk semakin mendekatkan diri kita kepada Allah. Kedua, sebagai Tazkiyatun Nafs (membersihkan hati) dari segala kotoran-kotoran yang bersarang, seperti iri, dengki, hasud, dan lain sebagainya. Ketiga, adalah membantu fakir miskin. Ini adalah tujuan sosial terpenting disyariatkannya zakat. Itulah mengapa dalam ayat yang menjelaskan sasaran zakat, Allah lebih mendahulukan kalimat, Fuqara' dan Masakin. Itu berarti, Allah mensyariatkan zakat, semata-mata untuk menciptakan stabilitas perekonomian karena zakat diambilkan dari orang-orang kaya dan didistribusikan kepada orang-orang miskin mereka. Hikmah yang muncul, akan tercipta rasa berbagi, saling membantu, menghilangkan kesenjangan sosial antara si miskin dan si kaya, dan pada akhirnya tercipta kerukunan dan kesejahteraan antar warga. Dan inilah tujuan inti dari perekonomian, menciptakan kesejahteraan masyarakat tanpa ada kesenjangan sosial. (al-Qaradhawi, 2007. Fikih Zakat)
III. ZAKAT SEBAGAI KEBIJAKAN FISKAL
Prinsip Islam tentang kebijakan fiskal dan anggaran belanja bertujuan untuk mengembangkan suatu masyarakat yang didasarkan atas distribusi kekayaan berimbang dengan menempatkan nilai-nilai material dan spiritual pada tingkat yang sama. Dari semua kitab agama yang ada, al-Quran-lah satu-satunya kitab yang meletakkan perintah sangat tepat tentang kebijakan negara mengenai pengeluaran pendapatan. Keterangan ini mencerminkan suatu ancangan baru terhadap pengkajian masalah kebijakan fiskal, yang dikatakan Profesor R.W. Lindson, "Dalam membuat pengeluaran Pemerintah dan dalam memperoleh masukannnya, penentuan jenis, maka waktu dan prosedurlah yang harus diikuti." (M.A. Mannan, 1997)
Sampai saat ini, zakat yang berjalan di Indonesia masih bersifat sukarela (voluntary zakat system). Hal ini terlihat jelas pada pasal 12 ayat 1 UU No. 38 tahun 1999. Sehingga wajar ketika fokus sanksi dari UU ini ada pada badan amil zakat (bab VII Pasal 21). Penelitian yang telah dilakukan penulis di wilayah Dramaga – Bogor, menyatakan, bahwa masyarakat yang rutin membayar zakat secara sukarela mencapai 98% dari seluruh 50 sample yang diambil secara acak. Hal ini mengindikasikan, bahwa masyarakat Indonesia yang diwakili oleh wilayah Dramaga-Bogor mempunyai kesadaran yang sedemikian tinggi membayar zakat. Ini artinya, jika negara mengupayakan sistem zakat menjadi kewajiban (obligatory zakat system) dimasukkan sebagai kebijakan fiskalnya, masyarakat telah siap menjalankannya. Karena di samping ada kekuatan paksaan dari pemerintah –seperti halnya pajak– zakat, juga mempunyai kekuatan paksaan dari Allah. Dengan adanya double power ini, warga negara Indonesia yang mayoritas muslim, akan menerima dengan logowo, sebagaimana hasil penelitian penulis di Dramaga – Bogor. Jika ini diterapkan, zakat akan berfungsi dengan maksimal menjalankan perannya sebagai instrumen ekonomi di Indonesia.
Dalam hal zakat dijadikan sebagai kebijakan fiskal (bersifat obligatory zakat system), negara dapat mengacu pada dalil al-Quran berikut ini:
”Pungutlah (Ambillah) zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan do’akanlah mereka karena sesungguhnya do’amu dapat memberi ketenangan bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At Taubah : 103).
Kata "Khudz" dalam ayat tersebut, yang bermakna Pungutlah atau Ambillah, menunjukkan adanya pemaksaan pada pengumpulan zakat. Pada pelaksanaannya, Nabi pun mengangkat pegawai pengumpul zakat yang disebut mushadiq atau sa'i. Hal tersebut seperti juga diceritakan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Abu Hurairah, "Bahwasannya Rasulullah saw, telah mengutus Umar Ibnu Khaththab, pergi memungut zakat." (An-Nawawi, 1994. Al-Majmu' Vol. 6: 167).
Nabi Muhammad dengan wewenangnya sebagai kepala negara telah menunjuk orang-orang tertentu untuk mengambil zakat dari kaum muslimin. Hal tersebut menunjukkan bahwa zakat tidaklah terkumpul dengan sukarela, akan tetapi secara ketat dan tegas ditentukan bahwa zakat adalah sebuah kewajiban yang harus dibayar. Demikian pula pada masa kepemimpinan Khulafa ar-Rasyidin, zakat dikumpulkan oleh para petugas yang secara resmi diangkat oleh khalifah. Bahkan, khalifah Abu Bakar memerangi suku Abes dan Dzubyan -yang didukung oleh suku Kinanah, Ghatafan dan Fazarah - yang tidak mau membayar zakat.
Selama masa Rasul, para sahabat, dan para tabiin, zakat telah terkumpul dan terdistribusi dengan baik.
Untuk mengulang sejarah gemilang ini pada masa sekarang, kiranya tepatlah apa yang dikatakan oleh Imam Malik rahimahullah, “tidaklah akan menjadi baik dan berhasil umat ini tanpa melihat bagaimana keberhasilan generasi sebelumnya”.
IV. PARADIGMA BARU DALAM ZAKAT; INFESTASI ZAKAT
Yang dimaksud dengan infestasi zakat menurut Ekonomi Islam adalah mengelola harta-harta zakat baik secara tersendiri atau bersama dengan harta lainnya serta memanfaatkannya untuk kemaslahatan orang-orang yang berhak menerima zakat dengan peninjauan telah menjadi laba/hasil pada saat itu, atau pada masa yang akan datang yang sesuai dengan batasan-batasan yang telah ditetapkan. Lebih jelasnya, dapat kita simulasikan sebagai berikut:
Lembaga zakat yang menanganinya, menginvestasikan harta-harta zakat tersebut untuk kemaslahatan para mustahiqqin itu sendiri. Setelah itu, langkah berikutnya adalah, orang-orang fakir yang ada diberikan haknya secara bulanan, tapi dengan catatan mereka tidak mengalami apa-apa (bencana) sedikitpun ketika sebagian hartanya yang tersisa di investasikan.
A. Aturan-aturan investasi zakat
1. Investasi zakat harus menopang dan memperkokoh fungsi zakat, bukan malah menggantinya dalam kondisi apapun.
2. Investasi zakat itu harus berpegang teguh pada ajaran-ajaran Islam, semisal tidak di investasikan pada hal yang berbau bunga.
3. Harus dapat mewujudkan keadilan dalam mendistribusikan investasi-investasi tersebut berikut hasilnya pada orang-orang yang berhak. Dan senantiasa merasakan bahwa Allah mengawasinya dalam setiap aktivitas. Jika dinisbatkan pada kegiatan investasi zakat, maka hal itu dianggap sebagai ibadah untuk memperoleh kebaikan di hari kembali kelak.
4. Investasi zakat harus berlandaskan kajian-kajian yang berkualitas bagus dan telah ditetapkan.
5. Memilih orang-orang yang berpotensi, amanah dan integritas serta mempunyai etika yang mulia untuk mengurus administrasinya.
6. Kebijakan dalam investasi zakat itu bertujuan untuk mensejahterakan fakir miskin.
7. Dalam perencanaan dan pelaksanaan investasi zakat itu harus mengikutsertakan peran praktisi yang berpotensi dari pihak mustahik zakat.
8. Dalam menginvestasikan harta zakat, lembaga zakat menggantikan posisi sebagian mustahiqqin dalam hal yang lebih kompeten dibanding mereka.
9. Manfaat dari hasil investasi zakat itu harus langsung diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya.
10. Investasi zakat tidak menyentuh kepentingan umum dengan cara-cara yang tidak mengganggu.
11. Menjaga hak-hak para mustahik dengan cara kontrol/perhitungan terhadap investasi zakat.
B. Bentuk investasi zakat
4. Pendanaan dengan cara takhsish (pengkhususan)
Takhsish adalah mengkhususkan kadar tertentu dari timbangan zakat untuk di investasikan. Takhsish ini terkadang berpengaruh terhadap keadaan para mustahiqqin, walaupun terhadap kebutuhan sekunder mereka, dengan tujuan menutupi kebutuhan mendatangnya yang lebih baik.
5. Investasi dengan cara qardh al-Hasan
Yaitu Qardh Hasan tersebut diajukan oleh pihak lembaga zakat untuk di kembangkan kepada para mustahik, kemudian qardh hasan tersebut dianggap sebagai harta zakat yang menjadi haknya. Demikian ini sangat bagus. Sebab, jauh dari riba dan termasuk shadaqah. Qardh hasan ini diajukan dari orang banyak atau dari berbagai yayasan dan yang lainnya semata-mata sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan untuk mengharap keridhaan-Nya.
6. Investasi dengan cara mempercepat zakat
Yang dimaksud ”mempercepat zakat” dalam arti terminologi (istilah) adalah: mengeluarkannya sebelum tiba waktunya (sebelum tiba masa satu tahun). Namun, cara ketiga ini mempunyai syarat tertentu. Al-Imam al-Syafi’i menyaratkan untuk percepatan ini sebagai berikut: 1). Berupa harta, 2). Diberikan kepada mashrafnya (penerima yang semestinya) dan 3). adalah niat yang baik.
4. Taqshith zakat kepada para mustahik
Yang dimaksud dengan Taqshith adalah memberikan zakat kepada mustahik secara berkala/periode. Jadi, mustahik mempunyai kadar yang telah ditentukan baginya di awal pemberian. Hanya saja dalam kondisi ini, ia tidak langsung diberi sekaligus akan tetapi secara bertahap. Seperti bulanan atau mingguan dan seterusnya.
V. MELIHAT POTENSI ZAKAT DI INDONESIA
Jumlah penduduk miskin di Indonesia per Maret 2007 kamarin sesuai data yang dilansir BPS, adalah sebesar 37,17 juta (16,58 persen). Jumlah ini bisa dieliminir dengan pemberdayaan dana zakat, infaq, dan shadaqah. Untuk mensimulasikan potensi zakat di Indonesia, kita akan coba menghitung, penduduk Indonesia yang kini – menurut dari sumber yang sama–, berjumlah ±220 juta jiwa, apabila satu keluarga terdiri dari 5 orang, maka akan ada sekitar 44 juta kepala keluarga. Apabila 80% nya muslim, berarti ada 35.2 juta kepala keluarga. Kita asumsikan dari total jumlah tersebut, terdapat 30% nya saja terdiri dari orang-orang kaya (muzakki), berarti ada sekitar 10,56 juta kepala keluarga. Bila si muzakki tersebut mempunyai modal Rp.10 juta dengan zakat 2.5% maka setiap KK berzakat Rp.250,000 pertahun. Apabila di asumsikan mereka memiliki modal perniagaan Rp.200 juta, maka dana zakat yang terkumpul sebesar Rp.5 juta pertahun. Artinya dana zakat yang dikumpulkan sebesar 10,56 juta KK dikalikan dengan Rp.5,000,000 didapatkan hasil Rp.52.8 trilyun. Bila dikurangi hak amilin (1/8 bagian) sebesar Rp.6.6 trilyun maka masih tersisa Rp.46.2 trilyun yang dapat digunakan para mustahik dalam berbagai sektor. Bandingkan dengan anggaran pendidikan pada tahun 2007 hanya sebesar Rp.11 trilyun, anggaran pemberdayaan ekonomi lemah hanya Rp.1 trilyun. Ini berarti zakat bukan hanya merupakan solusi tepat melainkan ajaran yang harus dipertahankan dan dikembangkan.
Namun, ada satu hal penting yang perlu kita perjuangkan agar potensi tersebut dapat terimplementasikan dengan baik, yaitu adanya sebuah badan otoritas resmi yang dibentuk oleh negara serta memiliki kekuatan legal UU, seperti mentri perzakatan dan perwakafan. Hal ini sangat penting, mengingat selama ini sistem zakat di Indonesia mekanismenya masih di bawah Departemen Agama. Ketika kita menginginkan zakat merupakan instrumen ekonomi dalam negara, maka efektifitasnya akan lebih terasa ketika ia benar-benar menjadi alat kebijakan ekonomi. Dengan demikian sebaiknya mekanisme zakat ini berada di bawah otoritas ekonomi tersendiri sebagaimana di atas. Disadari atau tidak, pelaksanaan pembayaran zakat yang berjalan selama ini masih dilakukan oleh masing-masing individu serta belum teroganisir dengan sempurna, sehingga dana zakat yang terkumpul pun masih belum optimal. Dengan adanya sebuah otoritas resmi tersebut, diharapkan lembaga-lembaga amil zakat yang selama ini masih terpencar-pencar dapat dikordinir dengan baik, sehingga hasil yang diperoleh pun menjadi maksimal.
Sesuai dengan hasil penelitian yang penulis lakukan di Dramaga-Bogor, ternyata sebanyak 80% dari 50 responden yang kami teliti setuju dengan pengumpulan zakat secara terpusat. Ini artinya, bahwa masyarakat Indonesia yang diwakili oleh masyarakat Dramaga Bogor, menginginkan agar pengelolaan zakat di tangani secara terpusat oleh Pemerintah.
VI. PERANAN ZAKAT MENGATASI MASALAH SOSIO-EKONOMI
A. Mengatasi Masalah Sosial
Secara garis besar, peranan zakat dapat mengantarkan terwujudnya pertumbuhan sosial dalam tiga orientasi :
Pertama, dapat menciptakannya sifat ta’awun, penanggungan, dan solidaritas sosial yang dapat memperkokoh ikatan sosial di antara masyarakat. Zakat mempunyai peranan penting dalam pengembangan sosial masyarakat Islam. Pada dasarnya zakat adalah masuk dalam tatanan sosial, karena beroperasi dalam menjamin sendi-sendi sosial dan dapat mencegah terjadinya tindakan kriminalitas, sehingga akan terwujud di antara mereka saling menanggung antar sesama. Orang yang merasa kuat akan merangkul orang yang lemah, miskin, membantu Ibnus Sabil dan dapat mendekatkan jarak di antara mereka. Zakat berusaha menghilangkan dengki antara orang yang lemah dan kuat. Membantu mereka dalam mengarahkan pada jalan kebaikan dan menolak mereka melakukan hal-hal yang merugikan agama.
Kedua, dapat memecahkan problematika sosial yang kompleks, di mana ketika di abaikan maka akan meggerogoti bangunan kokoh suatu masyarakat dan akan menyebabkan kerapuhannya. Dalam setiap masyarakat pasti terdapat problematika sosial. Akan tetapi, cara penanggulangan problematika tersebut berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kultur masyarakatnya. Dalam masyarakat Islam, zakat mempunyai kemampuan untuk memecahkan segala persoalan sosial yang menjamur di masyarakat. Untuk menanggulangi problem ini, zakat mempunyai peranan:
2. Mendekatkan perbedaan antara tingkatan atau kelas masyarakat
Islam tetap mengakui adanya perbedaan masyarakat dalam segi ma’isyah dan pendapatan (income). Hal itu jelas disebabkan perbedaan pemberian dari Allah, perbedaan bakat, kemampuan dan kekuasaan. Tapi, perbedaan ini maksudnya bukanlah Islam membiarkan yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin sehingga akan terjadi kesenjangan antara kedua golongan ini. Justeru Islam berusaha mendekatkan perbedaan itu. Dalam hal ini, zakat mempunyai peranan penting dalam mengangkat derajat orang-orang fakir miskin dan orang orang-orang lemah, lebih sedikit dari derajat orang-orang kaya. Yakni, apa yang dapat membantu meminimalisir celah antara tingkatan orang-orang yang memiliki kekayaan lebih di masyarakat dan tingkatan fakir miskin. Karena diantara tujuan Islam adalah mengangkat tingkatan orang-orang fakir miskin dan mengalihkannya pada tingkatan produksi.
2. Dapat menanggulangi persoalan pengemis dan gelandangan di masyarakat
Diantara problematika terpenting yang melanda di masyarakat sekitar kita adalah meminta-minta (para pengemis) dan gelandangan. Dalam masyarakat yang menerapkan sistem zakat, maka kedua problema ini dapat ditanggulangi dengan baik. Sebab pada hakikatnya, para pengemis dan gelandangan itu adalah termasuk golongan orang-orang fakir miskin (golongan pertama) yang berhak menerima bagian zakat. Mereka sadar, bahwa dirinya termasuk golongan mustahiqqin dan bukanlah bagian yang hilang dari suatu komunitas. Karenanya mereka akan mencari orang-orang yang menangani hasil zakat untuk memperoleh hak-haknya.
Al-Quran juga telah memberikan perhatian terhadap Ibnus Sabil (para musafir) dalam surah Makiyyah atau Madaniyyah dan memerintahkan kaum muslimin dalam mayoritas surat itu untuk berbuat baik padanya dan memenuhi haknya, kemudian memberikan bagian padanya dari harta zakat. Hal itu tiada lain, melainkan karena Islam senang jika seseorang memiliki rumah sendiri yang mendapat perlindungan. Sebaliknya Islam benci jika seseorang menjadi anak jalanan yang tidak memiliki rumah alias gelandangan. Dari sini, syariat menetapkan bahwa seseorang hendaknya memiliki rumah yang layak yang dapat melindungi dirinya dan keluarganya. Sebagian ulama kontemporer, menafsirkan ibnus Sabil dalam ayat zakat dengan kata anak terlantar sehingga mereka wajib mendapatkan bagian dari harta zakat.
Ketiga, dapat membantu dan berkontribusi terhadap pengembangan kekuatan militer dan politik dalam suatu komunitas. Merupakan suatu keniscayaan, bila ingin mengembangkan kekuatan militer maka harus melengkapi persenjataan mereka dan melatih kemiliteran. Semua itu butuh biaya yang tidak sedikit, bahkan bisa membutuhkan jutaan dolar. Terlebih di masa sekarang. Suatu negara yang menerapkan praktik zakat dengan sebenarnya, maka hasil yang akan diperoleh akan jauh lebih besar dan banyak melebihi sistem pajak. Sebab, kaum muslimin sadar bahwa kewajiban membayar zakat itu adalah memenuhi hak Allah. Terlebih lagi jika mereka mengetahui, bahwa hak Allah itu akan didermakan dalam pendistribusian yang sesuai dengan syariat yang telah diperintahkan oleh Allah swt.
Zakat dapat memperkokoh tatanan politik dan mengkonsolidasikannya. Lebih-lebih kekuatan sistem militer dan kemampuan menghadapi musuh-musuh di dalam atau di luar. Sebab, orang yang memberi dan menerima zakat percaya dengan sepenuh hati bahwa mereka bekerja sama dalam mengatur pemerintahan dan mengatur pembelanjaannya, pendanaannya untuk mewujudkan perintah Allah dan taat pada-Nya dalam mendermakan harta pada distribusi yang syar’i.
Kata Sabilillah dalam ayat zakat mengandung makna yang luas. Karenanya negara bisa menyisihkan sebagian hasil zakat untuk memperkuat para tentara militer muslimin dengan membelikan persenjataan, amunisi, dan juga didermakan kepada para pejuang demi membela tanah air dan mempertahankan negara Islam.
Begitupun dalam masaah politik, bukankah Allah swt telah menggariskan distribusi zakat pada delapan golongan yakni: fakir miskin, muallaf, orang yang memiliki hutang, ibnus sabil, para budak, sabilillah dan para amil? Cukuplah bagi kita berpikir, apa jadinya jika negara mengabaikan mereka semua tanpa diberi zakat? Pasti yang terjadi adalah kekacauan, kemarahan, penyiksaan dan kedzaliman. Dengan diterapkannya zakat, maka stabilitas keamanan politik dapat terkendali dengan baik.
B. Mengatasi persoalan Ekonomi Masyarakat Indonesia
Sebagian masyarakat berasumsi bahwa, zakat adalah penyebab berkurangnya modal tahunan. Akan tetapi mereka tidak sadar bahwa zakat sebenarnya hanya wajib pada harta yang disimpan dalam masa satu tahun dan telah mencapai satu nishob. Berkurangnya harta seseorang yang diakibatkan zakat dapat mendorong dia untuk menginvestasikan hartanya (mengembangkan) sehingga dia dapat membayar zakat dari hasil/income yang diperoleh dari investasinya tersebut. Dengan demikian seseorang tetap dapat menjaga modalnya/harta pokoknya dan dia akan berusaha mengembangkannya. Dan syariat telah memotivasi akan hal itu. Berdasarkan sebuah hadits,
ﺇﺘﺟﺮﯙﺍ باموال اليتامى ﺤﺘﯽ لا تأكلها الزكاة
Artinya: “Perdagangkan (kelola)lah harta anak-anak yatim itu sehingga tidak habis termakan zakat”
Zakat dapat menambah income dan kekayaan (asset) masyarakat. Ia dapat membersihkan harta, menambah keberkahannya, serta dapat memelihara dari bencana, mencegah dari faktor-faktor kerusakan harta, hilang. Sebagian harta yang dizakati akan kembali pada kalangan pekerja fakir miskin yang turut berkontribusi dalam menciptakan berkembangnya harta. Dari itu, rasa cinta mereka terhadap pemeluk harta semakin meningkat, sehinga dapat mendorong mereka mengerahkan segala kemampuannya untuk mewujudkan kerelaan pemilik harta. Kemudian, tanpa diragukan lagi, dapat menyebabkan berlipat gandanya rasio investasi dalam modal. Pada sisi lain pemerintah juga turut menangani dalam bidang mendrmakan sebagian hasil zakat terhadap pelayanan-pelayanan umum yang diperoleh dari modal yang diinvestasikan tersebut. Sehingga semakin berkembang dan bertambah.
1. Mengatasi penimbunan atau monopoli
Islam melarang menimbun harta tanpa ada batasan. Karena harta yang ditimbun tersebut berarti menjadi sesembahan kepada selain Allah. Dalam kondisi yang sama pula harta menjadi sesembahan sekawanan syaithan atau orang-orang bakhil yang gemar menimbun hartanya. Sehingga ayat tentang pelarangan israf (berlaku boros) adalah umum terhadap kesemua anggota masyarakat, kaya ataupun fakir. Hanya saja sudah dimaklumi, bahwa hanya orang-orang kayalah biasanya yang melewati batas keharaman penimbunan ini, baik karena cerobohnya mereka dalam membelanjakan hartanya atau karena boros.
Zakat berperan memerangi monopoli yang dapat mencegah uang dari menunaikan tugasnya, yaitu sebagai wasilah/perantara dalam pertukaran barang (perputaran uang). Sehingga pada waktu yang bersamaan, zakat dapat pula mengembangkan harta tersebut. Menunaikan zakat kepada terhadap mustahiq yang membutuhkan dapat menyebabkan perubahan model konsumtif dan permintaan barang-barang konsumtif terhadap kebutuhan-kebutuhan primer. Demikian ini akan meminimalisir permintaan terhadap barang-barang konsumtif sehingga konsekuensi selanjutnya, tentu akan meningkatkan investasi. Islam telah menciptakan jaminan sosial dan solidaritas umum bagi setiap individu masyarakat sebagai perlawanan kerugian yang beraneka ragam yang tercakup dalam aktivitas ekonomi.
2. Peran Zakat Mengentas Kemiskinan dan Pengangguran
Diantara peran zakat, terdapat beberapa mekanisme pendistribusiannya, yang jika diterapkan, maka akan sangat efektif dalam mengurangi kemiskinan dan mengatasi pengangguran, khususnya yang terjadi di Indonesia.
a. Penyaluran zakat untuk pelatihan karyawan sebagai SDM yang ahli
Untuk menghasilkan produksi yang berkualitas baik, maka peran karyawan sebagai tenaga kerja haruslah terdiri dari SDM yang berkeahlian dan memiliki integritas yang tinggi dalam memajukan perusahaan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas SDM yang ahli, dapat dilakukan seperti yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz, zakat tidak semata-mata untuk diberikan dan dikonsumsi, tetapi dipakai sebagai pelatihan skill untuk mengelola modal usaha yang efektif dan baik. Sehingga mereka mampu mendapatkan pekerjaan yang layak dan dapat meningkatkan pendapatannya. Ini diberikan bagi mereka yang memang berhak menerimanya.
Penerapan zakat dengan orientasi seperti ini pernah mencapai titik gemilang pada masa Umar bin Abdul Aziz. Hanya dalam masa 2 tahun beliau berhasil mengentaskan kemiskinan sehingga tidak ada lagi yang mau menerima zakat. Semua rakyatnya merasa sudah menjadi muzakki (pembayar zakat) bukan lagi mustahik (penerima zakat). Sebagaimana dituturkan Abu Ubaid bahwa Gubernur Irak Hamid bin Abdurrahman sewaktu mengirim surat kepada Amirul Mukminin tentang melimpahnya dana zakat di baitulmaal karena sudah tidak ada lagi yang mau menerimanya, lalu Umar bin Abdul Aziz memerintahkan untuk memberikan gaji dan hak rutin orang di daerah itu, dijawab oleh Hamid “Kami sudah memberikannya tetapi dana zakat begitu banyak di baitul maal, lau Umar bin Abdul Aziz menginstruksikan untuk memberikan dana zakat tersebut kepada mereka yang berhutang dan tidak boros. Hamid berkata, “Kami sudah bayarkan hutang−hutang mereka, tetapi dana zakat begitu banyak di Baitul Maal”, kemudian Umar bin Abdul Aziz memerintahkan agar ia mencari orang lajang tidak memiliki cukup uang dan ingin segera menikah, agar dinikahkan dan dibayarkan maharnya, dijawab lagi “kami sudah nikahkan mereka dan bayarkan maharnya tetapi dana zakat begitu banyak di baitul maal”. Akhirnya Umar bin Abdul Aziz memerintahkan agar Hamid bin Abdurrahman mencari seorang yang biasa membayar upeti atau pajak hasil bumi. Jika ada kekurangan modal dalam usahanya, berilah pinjaman kepada mereka agar ia mampu kembali mengolah lahannya dengan baik. Kita tidak menuntut kecuali setelah dua tahun atau lebih”. Cara inilah yang disebut penyaluran zakat produktif.
b. Penyaluran untuk menyediakan sarana infrastruktur
Terlepas dari pro dan kontra para ulama mengenai penyaluran zakat sebagai pengadaan infrastruktur, penulis melihat 'umum al-Lafdzi "Fii Sabilillah" (keumuman lafadz "Jalan Allah") Sesuai dengan kaidah ushul fiqh, bahwa al-'Ibrah fii 'umum al-Lafdzi, laa bi khusus al-Sabab (yang dianggap adalah keumuman lafadznya, bukan kekhususan penyebabnya) Jadi, segala sesuatu atau sarana yang mengarah pada jalan kebaikan, maka hal itu termasuk dalam katagori Fii Sabilillah. Oleh karena itu, zakat dapat didistribusikan dalam bentuk pembangunan infrastruktur dan fasilitas sosial, serta sarana-sarana yang dapat memperlancar pembangunan ekonomi. Dengan adanya pembangunan ini tentu akan menyerap banyak tenaga kerja, dan pendapatan nasional akan bertambah.
c. Menjaga keseimbangan penawaran dan permintaan tenaga kerja
Jika kita amati pengangguran yang terjadi di Indonesia, lebih disebabkan adanya ketimpangan antara permintaan dan penawaran tenaga kerja, sehingga ada sejumlah tenaga kerja yang tidak terserap. Dengan zakat, masalah seperti ini dapat di atasi dengan cara, meningkatkan permintaan TK melalui pembukaan lapangan kerja baru yang bersumber dari dana zakat. Dana zakat yang terhimpun, dapat dibuat pabrik-pabrik industri, atau pembangunan tempat-tempat penginapan yang bisa diijarahkan (disewakan) dan lain-lain. Hal ini sekaligus akan menciptakan stimulus dan motivasi untuk bekerja bagi mereka yang pengangguran. Sebab zakat diberikan dalam dua bentuk: konsumtif dan produktif, yang dimaksudkan meminimalisir tingkat pengangguran sehingga tercipta keseimbangan.
VII. KESIMPULAN
Dari paparan diatas, dapat kita ambil benang merah, bahwa jika suatu negara menerapkan zakat dengan sebenarnya, maka masalah sosio-ekonomi seperti kemiskinan, pengangguran, tindak kejahatan, dan disintegrasi, dapat diatasi dengan baik dengan cara pengoptimalan zakat. Sayangnya, potensi zakat yang sangat besar yang ada di Indonesia saat ini tidak dikelola dengan cara optimal. Hal ini lebih disebabkan, penanganan zakat dilakukan secara terpencar-pencar oleh lembaga-lembaga amil zakat, sehingga hasilnya pun tidak signifikan mempengaruhi pertumbuhan perekonomian Indonesia.
Disarankan kepada Pemerintah, sesuai dengan penelitian yang penulis lakukan, agar penanganan zakat di kelola secara secara terpusat oleh satu lembaga atau badan otoritas resmi yang diangkat oleh negara, semacam mentri perzakatan dan perwakafan. Melihat masyarakat Indonesia yang diwakili oleh masyarakat Dramaga Bogor, sebanyak 98% telah sadar dan sukarela membayar zakat secara rutin. Artinya, jika pemerintah pun mewajibkannya, maka masyarakat akan senantiasa legowo menerima dan melaksanakannya. Sehingga zakat bukan lagi bersifat sukarela (voluntary zakat system) melainkan menjadi kebijakan fiskal yang bersifat wajib (obligatroy zakat system).
Zakat, hanyalah salah satu instrumen yang dimiliki oleh Ekonomi Islam yang ternyata mampu menjawab segala persoalan sosio-ekonomi yang dihadapi oleh sebuah negara. Jika instrumen ini digabung dengan penerapan instrumen lainnya, seperti wakaf, kharaj, Musyarakah dalam perbankan syariah, dan lain-lain, maka dapat dipastikan perekonomian Indonesia akan mengalami pertumbuhan yang sangat drastis dan pada akhirnya, apa yang kita impikan, Indonesia akan menjadi negara yang subur makmur, sentosa, gemah ripah loh jinaweh. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Karim
Al-Ghazali, Abu Hamid. 1991. Ihya’ Ulum al-Dien. Vol. II. Daar al-Fikr, Beirut – Lebanon.
Al-Malaibary, Zainuddin. 1994. I’anah al-Thalibin, vol. III. Daar al-Fikr, Beirut – Lebanon.
Al-Nawawi, Syarafuddin, tt. Syarh Muslim li al-Nawawi. Daar al-Fikr, Beirut - Lebanon.
-------------, 1994. al-Majmu’ ‘ala Syarh Muhaddzab. Daar al-Fikr, Beirut – Lebanon.
Az-Zuhayli, Wahbah, 1999. al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh. Daar al-Fikr, Beirut - Lebanon.
Al-Qaradhawi, Yusuf. 2007. “Hukum Zakat” (Penerjemah: Drs.Didin Hafiduddin dan Drs. Hasanuddin) PT. Pustaka Litera Antarnusa – Jakarta.
Deliarnov, 2005. ”Perkembangan Pemikiran Ekonomi” Ed. Revisi. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Yafie, Ali Prof. KH. 2003. ”Fiqih Perdagangan Bebas” Cet. II. Teraju dan PT. AHAD-Net International – Jakarta.
Chapra, M. Umer. 1997. ”Al-Quran menuju sistem moneter yang adil” (penterjemah: Drs. Lukman Hakim, MA) PT. Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta.
Karim, Adiwarman A. 2007. ”Ekonomi Makro Islami” Ed. 3. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Monzer, Kahf. 1979. ”Ekonomi Islam; Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam” Cet. I (penerjemah: Machnun Husein). Pustaka Pelajar Yogyakarta.
Sakti, Ali. 2007. ”Ekonomi Islam: Jawaban Atas Kekacauan Ekonomi Modern” Paradigma & AQSA Publishing – Jakarta.
Mannan, M.A. 1997. ”Teori dan Praktek Ekonomi Islam” (penerjemah: Drs. M. Nastangin) PT. Dana Bhakti Prima Yasa – Yogyakarta.
www.bps.go.id (Berita Resmi Statistik No. 05/01/Th. XI, 2 Januari 2008)
Qardhawi, Yusuf. Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan. Jakarta: Gema Insani Press, 1995
Lampiran Questioner NO : _____
Tanggal : _______________________________________________2008
1. Nama : …………………………………………………………..
2. Alamat : …………………………………………………………..
3. Agama : …………………………………………………………..
4. Pekerjaan : ..........................................................................................
5. Jenis Kelamin : a. Laki-laki b. Perempuan
6. Umur : a. 15-20 tahun b. 20-25 tahun c. 25-30 tahun d. 30-35 tahun e. >35 tahun
7. Status : a. Menikah b. Single
8. Apakah Anda sudah terkena wajib pajak?
a. Ya, sebutkan pajaknya: . . . . . . .
b. Belum
c. Tidak
9. Apakah Anda sudah rutin membayar pajak?
a. Ya, dalam jangka waktu : . . . . . .
b. Belum
c. Tidak
10. Apakah Anda juga rutin membayar zakat? Zakat yang dibayar berupa.....................
a. Ya, dalam jangka waktu: . . . . . . .
b. Belum
c. Tidak
11. Dana sukarela apa yang Anda keluarkan selain zakat?
a. Infaq b. Shadaqah c. Wakaf d. lainnya: . . . . . . .
12. Jika membayar zakat dapat menggugurkan kewajiban untuk membayar pajak kepada pemerintah, apa yang Anda pilih?
a. Membayar pajak, dan tidak membayar zakat
b. Membayar zakat, dan tidak membayar pajak
c. Membayar keduanya
d. Tidak membayar keduannya
13. Apakah menurut Anda, Lembaga/Badan Amil Zakat yang ada di Indonesia sudah menjalankan kinerja yang baik?
a. Baik b. Cukup c. Buruk d. Tidak tahu
14. Apakah Anda setuju jika pengumpulan dana Zakat, Infaq, Shadaqah, dan Wakaf dikoordinir oleh satu lembaga saja?
a. Ya
b. Tidak, karena . . . . . . . . .
Resume Questioner
Dari jumlah questioner yang disebar di wilayah Darmaga-Bogor, sebanyak 50 lembar dengan metode random sampling diperoleh pengembalian atas angket sebanyak 100%, dengan rincian sebagai berikut:
1. Kewajiban membayar pajak
Terkena wajib pajak : 24 responden (49%)
2. Kerutinan membayar pajak
Rutin bayar pajak : 16 responden (32%)
3. Kerutinan membayar zakat
zakat fitrah, mal, dan profesi : 49 responden (98%)
4. Pengeluaran dana sukarela
infaq : 15 responden
shadaqah : 42 responden
wakaf : 0 responden
lainnya : 2 responden
5. Opini penggantian zakat atas pajak
Setuju : 29 responden (58%)
Membayar keduanya : 20 responden (42%)
6. Opini kinerja LAZ/BAZ
Baik : 15 responden (80%)
Cukup : 23 responden
Buruk : 5 responden
Tidak tahu : 7 responden
7. Pengumpulan zakat terpusat
Setuju : 40 responden (80%)
Tidak setuju : 9 responden
Dari keseluruhan responden, ternyata hanya 32% yang rutin membayar pajak, sedangkan yang rutin membayar zakat mencapai 98% dari sample yang diambil.
Dari hal tersebut tentunya kita dapat melihat bahwa masyarakat Indonesia yang diwakili oleh wilayah Darmaga-bogor lebih memilih rutin membayar zakat dari pada membayar pajak ke pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan jumlah responden yang setuju dengan zakat sebagai penggugur/pengurang pajak sebanyak 58% dan 80% responden yang setuju dengan pengumpulan zakat secara terpusat.
JUDUL 1
ABSTRAKSI 1
I. PENDAHULUAN 2
II. TUJUAN DISYARIATKANNYA ZAKAT 4
III. ZAKAT SEBAGAI KEBIJAKAN FISKAL 4
IV. PARADIGMA BARU DALAM ZAKAT; INFESTASI ZAKAT 6
A. Aturan-aturan investasi zakat 6
B. Bentuk investasi zakat 6
1. Pendanaan dengan cara takhsish (pengkhususan) 7
2. Investasi dengan cara qardh al-Hasan 7
3. Investasi dengan cara mempercepat zakat 7
4. Taqshith zakat kepada para mustahik 8
V. MELIHAT POTENSI ZAKAT DI INDONESIA 8
VI. PERANAN ZAKAT MENGATASI MASALAH SOSIO-EKONOMI 9
A. Mengatasi Masalah Sosial 9
1. Mendekatkan perbedaan antara tingkatan atau kelas masyarakat 10
2. Dapat menanggulangi persoalan pengemis di masyarakat 10
B. Mengatasi persoalan Ekonomi Masyarakat Indonesia 12
1. Mengatasi penimbunan atau monopoli 12
2. Peran Zakat Mengentas Kemiskinan dan Pengangguran 13
1. Penyaluran zakat untuk pelatihan karyawan sebagai SDM yang ahli 13
2. Penyaluran untuk menyediakan sarana infrastruktur 14
3. Menjaga keseimbangan penawaran dan permintaan tenaga kerja 14
VII. KESIMPULAN 15
DAFTAR PUSTAKA 16
Lampiran-lampiran 17
Biodata Penulis 19
OPTIMALISASI PERANAN ZAKAT DALAM MENGATASI MASALAH
SOSIO-EKONOMI MASYARAKAT INDONESIA
(Studi Kasus Pada Masyarakat Dramaga - Bogor)
Abstraksi
Gambaran umum sosio-ekonomi Bangsa Indonesia saat ini tengah menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan yang cukup serius. Hal ini membuat para pemikir, politikus, ekonom serta para ulama dan umara' bersama-sama mencari akar permasalahan sesungguhnya, untuk kemudian memberikan solusi terbaik demi tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan negeri ini. Problem utama masih bersifat klasik; Kemiskinan dan pengangguran, yang pada akhirnya menjalar pada tindakan kriminalitas, amoral dan penipuan hingga pada disintegrasi. Suatu hal yang membahayakan pada keutuhan kesatuan NKRI kita.
Tulisan ini mencoba menganalisis sejauh mana Ekonomi Islam memberikan pencerahan terhadap kemajuan perekonomian di Indonesia, memberikan kesejahteraan pada masyarakatnya, mengurangi tingkat kemiskinan, pengangguran, kejahatan, dan masalah-masalah sosioekonomi lainnya dengan pendistribusian kekayaan yang berkeadilan. Dan ternyata, berdasarkan penelitian yang penulis lakukan di wilayah Dramaga-Bogor, sebanyak 32% masyarakat rutin membayar pajak, sedangkan masyarakat yang rutin membayar zakat mencapai 98% dari seluruh sample yang diambil. Hal ini mengindikasikan, bahwa masyarakat Indonesia yang diwakili oleh wilayah Dramaga-Bogor lebih memilih rutin membayar zakat dari pada membayar pajak ke pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan jumlah responden yang setuju dengan zakat sebagai penggugur/pengurang pajak sebanyak 58%, dan sebanyak 80% responden setuju dengan pengumpulan zakat secara terpusat.
Dengan adanya kesadaran masyarakat yang cukup tinggi membayar zakat, maka hal ini akan mendorong pendistribusian harta kekayaan secara merata dan adil. Dan pada akhirnya, zakat –yang merupakan salah satu instrument dalam Ekonomi Isam– mampu mengatasi segala problematika di atas dengan penyelesaian yang cantik dan indah. Diharapkan, setelah melihat kesadaran masyarakat yang tinggi ini, pemerintah segera menurunkan UU yang tegas, bahwa zakat bukan lagi hanya bersifat sukarela (voluntary zakat system) melainkan bersifat wajib (obligatory zakat system). Lebih tegas lagi, pemerintah dapat menerapkan praktik zakat ini secara kaffah (totalitas), agar dapat mencapai puncak tujuan (aqsha al-Ghayah) dari Maqhasid al-Syariah: Mashalih Mursalah, dan menciptakan negeri ini menjadi sebuah negeri yang digambarkan al-Quran sebagai, Baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Amin
Keyword:, Zakat, Kemiskinan, Pengangguran, Ekonomi Islam.
I. PENDAHULUAN
Sejak tahun 1960-an, permasalahan ekonomi kontemporer yang terjadi hingga saat ini masih berkutat seputar Inflasi, Pengangguran dan Kemiskinan. Termasuk juga di Indonesia. Tahun 1998, merupakan puncak sejarah yang menyedihkan bagi bangsa ini. Tahun yang mengingatkan kita akan pahitnya krisis moneter dengan inflasi mencapai sekitar 70%, sebuah angka yang sangat tinggi dan menakutkan. Padahal, jika kita mau jujur, faktor utama penyebab terjadinya inflasi tersebut sebenarnya adalah bunga itu sendiri, yang telah menjadi bagian dari biaya produksi, sehingga akhirnya menjadi bagian dari harga produk yang dijual. Begitupun pengangguran yang terjadi, lebih diakibatkan dari kebijakan penurunan suku bunga hingga nol persen. Di mana hal itu akan mendorong peningkatan investasi dan meningkatkan supply barang dan jasa, kemudian akan menjadi elemen yang mampu mereduksi level harga, hingga pengangguran tercecer dimana-mana. Disamping juga disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan akan tenaga kerja, yakni penawaran tenaga kerja lebih besar dari permintaan, sehingga ada sejumlah tenaga kerja yang tidak terserap. Ini adalah akibat jika sistem ekonomi kapitalis atau sosialis dianut oleh sebuah negara; ketidakadilan dan kekacauan.
Dalam teori ilmu makro ekonomi kapitalis juga disebutkan, bahwa untuk mengetahui tingkat kesejahteraan suatu bangsa, tolok ukur yang digunakan negara-negara dunia adalah PDB. PDB dianggap sebagai barometer tingkat pertumbuhan ekonomi di suatu negara yang hingga kini masih menjadi pembanding tingkat kesejahteraan antara negara satu dengan negara lainnya di dunia. Tak terkecuali di Indonesia. Kinerja perekonomian Indonesia masih didasarkan pada PDB, sebagaimana yang dilansir oleh BPS, bahwa PDB Indonesia pada triwulan III/2007 meningkat sebesar 3,9 persen (atas dasar harga konstan tahun 2000) bila dibandingkan triwulan sebelumnya, yaitu Rp 505,8 triliun dari PDB triwulan sebelumnya, Rp 48. 6,7 triliun.
Namun, satu hal yang perlu kita ketahui, bahwa pada dasarnya nilai besaran PDB tersebut tidak bisa menunjukkan esensi kesejahteraan suatu Negara yang sebenarnya. Sebab, PDB tidak dapat merefleksikan kesejahteraan setiap individu masyarakatnya secara merata. Terbukti angka kemiskinan di Indonesia sampai bulan Maret 2007 tergolong cukup tinggi, yaitu sebesar 37,17 juta orang (16,58 persen). Selain itu, jumlah pengangguran juga pada Agustus 2007 tergolong besar, yaitu 10,01 juta.
Sistem ekonomi Islam mempunyai tolok ukur yang berbeda dengan ekonomi konvensional. Aqsha al-Ghayah li Maqashid al-Syariah dalam Ekonomi Islam adalah menciptakan Mashalih Mursalah dengan mewujudkan distribusi kekayaan yang adil dan merata. Sehingga tidak ada harta kekayaan itu berputar dalam kalangan orang-orang tertentu saja, para kapitalis. Di sinilah peluang sekaligus tantangan bagi BAZ/LAZ –yang merupakan salah satu bagian penerapan dari Ekonomi Islam– untuk bisa memulihkan kembali perekonomian nasional agar tercipta kesejahteraan rakyat bersama yang menjadi tujuan dasar syariat di atas.
Perhatian Islam terhadap penanggulangan kemiskinan dan fakir miskin tidak dapat diperbandingkan dengan agama samawi dan aturan ciptaan manusia manapun, baik dari segi pengarahan maupun dari segi pengaturan dan penerapan. Semenjak fajar baru menyingsing di kota Mekkah, Islam sudah memperhatikan masalah sosial penanggulangan kemiskinan. Adakalanya Quran merumuskannya dengan kata-kata "memberi makan dan mengajak memberi makan orang miskin" atau dengan "mengeluarkan sebagian rizki yang diberikan Allah", "memberikan hak orang yang meminta-meminta, miskin dan terlantar dalam perjalanan", "membayar zakat" dan rumusan lainnya.
Pada dasarnya, Islam banyak mempunyai instrumen-instrumen ekonomi –selain zakat– yang dapat digunakan sebagai sebuah kebijakan negara. Seperti Sedekah, Wakaf, Kharaj (pajak tanah produktif), Jizyah (poll tax, hanya untuk non muslim), Dharibah (pajak yang ditetapkan oleh pemerintah kepada seluruh masyarakat), Fai' (harta peninggalan kafir, tanpa peperangan), Ghanimah (harta rampasan dari peperangan) dan 'Usyr. Masing-masing instrumen tersebut mempunyai peranan yang sangat besar dalam menumbuhkan perekonomian, dan mengentaskan kemiskinan pada khususnya, terutama pada Wakaf. Hanya saja, agar tidak terlalu melebar dalam tulisan ini, penulis lebih spesifik membatasi pembahasan dengan mengkaji seluk-beluk zakat, potensi dan peranannya dalam mengurangi tingkat kemiskinan, pengangguran dan masalah sosioekonomi lainnya. Insya Allah.
II. TUJUAN DISYARIATKANNYA ZAKAT
Ada beberapa tujuan urgen mengapa Allah mensyariatkan zakat, yaitu: Pertama, adalah untuk bertaqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) sebab, kita telah diberi kehidupan dan rizki yang telah ditanggung. Karenanya, kita wajib mensyukurinya dengan berzakat untuk semakin mendekatkan diri kita kepada Allah. Kedua, sebagai Tazkiyatun Nafs (membersihkan hati) dari segala kotoran-kotoran yang bersarang, seperti iri, dengki, hasud, dan lain sebagainya. Ketiga, adalah membantu fakir miskin. Ini adalah tujuan sosial terpenting disyariatkannya zakat. Itulah mengapa dalam ayat yang menjelaskan sasaran zakat, Allah lebih mendahulukan kalimat, Fuqara' dan Masakin. Itu berarti, Allah mensyariatkan zakat, semata-mata untuk menciptakan stabilitas perekonomian karena zakat diambilkan dari orang-orang kaya dan didistribusikan kepada orang-orang miskin mereka. Hikmah yang muncul, akan tercipta rasa berbagi, saling membantu, menghilangkan kesenjangan sosial antara si miskin dan si kaya, dan pada akhirnya tercipta kerukunan dan kesejahteraan antar warga. Dan inilah tujuan inti dari perekonomian, menciptakan kesejahteraan masyarakat tanpa ada kesenjangan sosial. (al-Qaradhawi, 2007. Fikih Zakat)
III. ZAKAT SEBAGAI KEBIJAKAN FISKAL
Prinsip Islam tentang kebijakan fiskal dan anggaran belanja bertujuan untuk mengembangkan suatu masyarakat yang didasarkan atas distribusi kekayaan berimbang dengan menempatkan nilai-nilai material dan spiritual pada tingkat yang sama. Dari semua kitab agama yang ada, al-Quran-lah satu-satunya kitab yang meletakkan perintah sangat tepat tentang kebijakan negara mengenai pengeluaran pendapatan. Keterangan ini mencerminkan suatu ancangan baru terhadap pengkajian masalah kebijakan fiskal, yang dikatakan Profesor R.W. Lindson, "Dalam membuat pengeluaran Pemerintah dan dalam memperoleh masukannnya, penentuan jenis, maka waktu dan prosedurlah yang harus diikuti." (M.A. Mannan, 1997)
Sampai saat ini, zakat yang berjalan di Indonesia masih bersifat sukarela (voluntary zakat system). Hal ini terlihat jelas pada pasal 12 ayat 1 UU No. 38 tahun 1999. Sehingga wajar ketika fokus sanksi dari UU ini ada pada badan amil zakat (bab VII Pasal 21). Penelitian yang telah dilakukan penulis di wilayah Dramaga – Bogor, menyatakan, bahwa masyarakat yang rutin membayar zakat secara sukarela mencapai 98% dari seluruh 50 sample yang diambil secara acak. Hal ini mengindikasikan, bahwa masyarakat Indonesia yang diwakili oleh wilayah Dramaga-Bogor mempunyai kesadaran yang sedemikian tinggi membayar zakat. Ini artinya, jika negara mengupayakan sistem zakat menjadi kewajiban (obligatory zakat system) dimasukkan sebagai kebijakan fiskalnya, masyarakat telah siap menjalankannya. Karena di samping ada kekuatan paksaan dari pemerintah –seperti halnya pajak– zakat, juga mempunyai kekuatan paksaan dari Allah. Dengan adanya double power ini, warga negara Indonesia yang mayoritas muslim, akan menerima dengan logowo, sebagaimana hasil penelitian penulis di Dramaga – Bogor. Jika ini diterapkan, zakat akan berfungsi dengan maksimal menjalankan perannya sebagai instrumen ekonomi di Indonesia.
Dalam hal zakat dijadikan sebagai kebijakan fiskal (bersifat obligatory zakat system), negara dapat mengacu pada dalil al-Quran berikut ini:
”Pungutlah (Ambillah) zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan do’akanlah mereka karena sesungguhnya do’amu dapat memberi ketenangan bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At Taubah : 103).
Kata "Khudz" dalam ayat tersebut, yang bermakna Pungutlah atau Ambillah, menunjukkan adanya pemaksaan pada pengumpulan zakat. Pada pelaksanaannya, Nabi pun mengangkat pegawai pengumpul zakat yang disebut mushadiq atau sa'i. Hal tersebut seperti juga diceritakan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Abu Hurairah, "Bahwasannya Rasulullah saw, telah mengutus Umar Ibnu Khaththab, pergi memungut zakat." (An-Nawawi, 1994. Al-Majmu' Vol. 6: 167).
Nabi Muhammad dengan wewenangnya sebagai kepala negara telah menunjuk orang-orang tertentu untuk mengambil zakat dari kaum muslimin. Hal tersebut menunjukkan bahwa zakat tidaklah terkumpul dengan sukarela, akan tetapi secara ketat dan tegas ditentukan bahwa zakat adalah sebuah kewajiban yang harus dibayar. Demikian pula pada masa kepemimpinan Khulafa ar-Rasyidin, zakat dikumpulkan oleh para petugas yang secara resmi diangkat oleh khalifah. Bahkan, khalifah Abu Bakar memerangi suku Abes dan Dzubyan -yang didukung oleh suku Kinanah, Ghatafan dan Fazarah - yang tidak mau membayar zakat.
Selama masa Rasul, para sahabat, dan para tabiin, zakat telah terkumpul dan terdistribusi dengan baik.
Untuk mengulang sejarah gemilang ini pada masa sekarang, kiranya tepatlah apa yang dikatakan oleh Imam Malik rahimahullah, “tidaklah akan menjadi baik dan berhasil umat ini tanpa melihat bagaimana keberhasilan generasi sebelumnya”.
IV. PARADIGMA BARU DALAM ZAKAT; INFESTASI ZAKAT
Yang dimaksud dengan infestasi zakat menurut Ekonomi Islam adalah mengelola harta-harta zakat baik secara tersendiri atau bersama dengan harta lainnya serta memanfaatkannya untuk kemaslahatan orang-orang yang berhak menerima zakat dengan peninjauan telah menjadi laba/hasil pada saat itu, atau pada masa yang akan datang yang sesuai dengan batasan-batasan yang telah ditetapkan. Lebih jelasnya, dapat kita simulasikan sebagai berikut:
Lembaga zakat yang menanganinya, menginvestasikan harta-harta zakat tersebut untuk kemaslahatan para mustahiqqin itu sendiri. Setelah itu, langkah berikutnya adalah, orang-orang fakir yang ada diberikan haknya secara bulanan, tapi dengan catatan mereka tidak mengalami apa-apa (bencana) sedikitpun ketika sebagian hartanya yang tersisa di investasikan.
A. Aturan-aturan investasi zakat
1. Investasi zakat harus menopang dan memperkokoh fungsi zakat, bukan malah menggantinya dalam kondisi apapun.
2. Investasi zakat itu harus berpegang teguh pada ajaran-ajaran Islam, semisal tidak di investasikan pada hal yang berbau bunga.
3. Harus dapat mewujudkan keadilan dalam mendistribusikan investasi-investasi tersebut berikut hasilnya pada orang-orang yang berhak. Dan senantiasa merasakan bahwa Allah mengawasinya dalam setiap aktivitas. Jika dinisbatkan pada kegiatan investasi zakat, maka hal itu dianggap sebagai ibadah untuk memperoleh kebaikan di hari kembali kelak.
4. Investasi zakat harus berlandaskan kajian-kajian yang berkualitas bagus dan telah ditetapkan.
5. Memilih orang-orang yang berpotensi, amanah dan integritas serta mempunyai etika yang mulia untuk mengurus administrasinya.
6. Kebijakan dalam investasi zakat itu bertujuan untuk mensejahterakan fakir miskin.
7. Dalam perencanaan dan pelaksanaan investasi zakat itu harus mengikutsertakan peran praktisi yang berpotensi dari pihak mustahik zakat.
8. Dalam menginvestasikan harta zakat, lembaga zakat menggantikan posisi sebagian mustahiqqin dalam hal yang lebih kompeten dibanding mereka.
9. Manfaat dari hasil investasi zakat itu harus langsung diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya.
10. Investasi zakat tidak menyentuh kepentingan umum dengan cara-cara yang tidak mengganggu.
11. Menjaga hak-hak para mustahik dengan cara kontrol/perhitungan terhadap investasi zakat.
B. Bentuk investasi zakat
4. Pendanaan dengan cara takhsish (pengkhususan)
Takhsish adalah mengkhususkan kadar tertentu dari timbangan zakat untuk di investasikan. Takhsish ini terkadang berpengaruh terhadap keadaan para mustahiqqin, walaupun terhadap kebutuhan sekunder mereka, dengan tujuan menutupi kebutuhan mendatangnya yang lebih baik.
5. Investasi dengan cara qardh al-Hasan
Yaitu Qardh Hasan tersebut diajukan oleh pihak lembaga zakat untuk di kembangkan kepada para mustahik, kemudian qardh hasan tersebut dianggap sebagai harta zakat yang menjadi haknya. Demikian ini sangat bagus. Sebab, jauh dari riba dan termasuk shadaqah. Qardh hasan ini diajukan dari orang banyak atau dari berbagai yayasan dan yang lainnya semata-mata sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan untuk mengharap keridhaan-Nya.
6. Investasi dengan cara mempercepat zakat
Yang dimaksud ”mempercepat zakat” dalam arti terminologi (istilah) adalah: mengeluarkannya sebelum tiba waktunya (sebelum tiba masa satu tahun). Namun, cara ketiga ini mempunyai syarat tertentu. Al-Imam al-Syafi’i menyaratkan untuk percepatan ini sebagai berikut: 1). Berupa harta, 2). Diberikan kepada mashrafnya (penerima yang semestinya) dan 3). adalah niat yang baik.
4. Taqshith zakat kepada para mustahik
Yang dimaksud dengan Taqshith adalah memberikan zakat kepada mustahik secara berkala/periode. Jadi, mustahik mempunyai kadar yang telah ditentukan baginya di awal pemberian. Hanya saja dalam kondisi ini, ia tidak langsung diberi sekaligus akan tetapi secara bertahap. Seperti bulanan atau mingguan dan seterusnya.
V. MELIHAT POTENSI ZAKAT DI INDONESIA
Jumlah penduduk miskin di Indonesia per Maret 2007 kamarin sesuai data yang dilansir BPS, adalah sebesar 37,17 juta (16,58 persen). Jumlah ini bisa dieliminir dengan pemberdayaan dana zakat, infaq, dan shadaqah. Untuk mensimulasikan potensi zakat di Indonesia, kita akan coba menghitung, penduduk Indonesia yang kini – menurut dari sumber yang sama–, berjumlah ±220 juta jiwa, apabila satu keluarga terdiri dari 5 orang, maka akan ada sekitar 44 juta kepala keluarga. Apabila 80% nya muslim, berarti ada 35.2 juta kepala keluarga. Kita asumsikan dari total jumlah tersebut, terdapat 30% nya saja terdiri dari orang-orang kaya (muzakki), berarti ada sekitar 10,56 juta kepala keluarga. Bila si muzakki tersebut mempunyai modal Rp.10 juta dengan zakat 2.5% maka setiap KK berzakat Rp.250,000 pertahun. Apabila di asumsikan mereka memiliki modal perniagaan Rp.200 juta, maka dana zakat yang terkumpul sebesar Rp.5 juta pertahun. Artinya dana zakat yang dikumpulkan sebesar 10,56 juta KK dikalikan dengan Rp.5,000,000 didapatkan hasil Rp.52.8 trilyun. Bila dikurangi hak amilin (1/8 bagian) sebesar Rp.6.6 trilyun maka masih tersisa Rp.46.2 trilyun yang dapat digunakan para mustahik dalam berbagai sektor. Bandingkan dengan anggaran pendidikan pada tahun 2007 hanya sebesar Rp.11 trilyun, anggaran pemberdayaan ekonomi lemah hanya Rp.1 trilyun. Ini berarti zakat bukan hanya merupakan solusi tepat melainkan ajaran yang harus dipertahankan dan dikembangkan.
Namun, ada satu hal penting yang perlu kita perjuangkan agar potensi tersebut dapat terimplementasikan dengan baik, yaitu adanya sebuah badan otoritas resmi yang dibentuk oleh negara serta memiliki kekuatan legal UU, seperti mentri perzakatan dan perwakafan. Hal ini sangat penting, mengingat selama ini sistem zakat di Indonesia mekanismenya masih di bawah Departemen Agama. Ketika kita menginginkan zakat merupakan instrumen ekonomi dalam negara, maka efektifitasnya akan lebih terasa ketika ia benar-benar menjadi alat kebijakan ekonomi. Dengan demikian sebaiknya mekanisme zakat ini berada di bawah otoritas ekonomi tersendiri sebagaimana di atas. Disadari atau tidak, pelaksanaan pembayaran zakat yang berjalan selama ini masih dilakukan oleh masing-masing individu serta belum teroganisir dengan sempurna, sehingga dana zakat yang terkumpul pun masih belum optimal. Dengan adanya sebuah otoritas resmi tersebut, diharapkan lembaga-lembaga amil zakat yang selama ini masih terpencar-pencar dapat dikordinir dengan baik, sehingga hasil yang diperoleh pun menjadi maksimal.
Sesuai dengan hasil penelitian yang penulis lakukan di Dramaga-Bogor, ternyata sebanyak 80% dari 50 responden yang kami teliti setuju dengan pengumpulan zakat secara terpusat. Ini artinya, bahwa masyarakat Indonesia yang diwakili oleh masyarakat Dramaga Bogor, menginginkan agar pengelolaan zakat di tangani secara terpusat oleh Pemerintah.
VI. PERANAN ZAKAT MENGATASI MASALAH SOSIO-EKONOMI
A. Mengatasi Masalah Sosial
Secara garis besar, peranan zakat dapat mengantarkan terwujudnya pertumbuhan sosial dalam tiga orientasi :
Pertama, dapat menciptakannya sifat ta’awun, penanggungan, dan solidaritas sosial yang dapat memperkokoh ikatan sosial di antara masyarakat. Zakat mempunyai peranan penting dalam pengembangan sosial masyarakat Islam. Pada dasarnya zakat adalah masuk dalam tatanan sosial, karena beroperasi dalam menjamin sendi-sendi sosial dan dapat mencegah terjadinya tindakan kriminalitas, sehingga akan terwujud di antara mereka saling menanggung antar sesama. Orang yang merasa kuat akan merangkul orang yang lemah, miskin, membantu Ibnus Sabil dan dapat mendekatkan jarak di antara mereka. Zakat berusaha menghilangkan dengki antara orang yang lemah dan kuat. Membantu mereka dalam mengarahkan pada jalan kebaikan dan menolak mereka melakukan hal-hal yang merugikan agama.
Kedua, dapat memecahkan problematika sosial yang kompleks, di mana ketika di abaikan maka akan meggerogoti bangunan kokoh suatu masyarakat dan akan menyebabkan kerapuhannya. Dalam setiap masyarakat pasti terdapat problematika sosial. Akan tetapi, cara penanggulangan problematika tersebut berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kultur masyarakatnya. Dalam masyarakat Islam, zakat mempunyai kemampuan untuk memecahkan segala persoalan sosial yang menjamur di masyarakat. Untuk menanggulangi problem ini, zakat mempunyai peranan:
2. Mendekatkan perbedaan antara tingkatan atau kelas masyarakat
Islam tetap mengakui adanya perbedaan masyarakat dalam segi ma’isyah dan pendapatan (income). Hal itu jelas disebabkan perbedaan pemberian dari Allah, perbedaan bakat, kemampuan dan kekuasaan. Tapi, perbedaan ini maksudnya bukanlah Islam membiarkan yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin sehingga akan terjadi kesenjangan antara kedua golongan ini. Justeru Islam berusaha mendekatkan perbedaan itu. Dalam hal ini, zakat mempunyai peranan penting dalam mengangkat derajat orang-orang fakir miskin dan orang orang-orang lemah, lebih sedikit dari derajat orang-orang kaya. Yakni, apa yang dapat membantu meminimalisir celah antara tingkatan orang-orang yang memiliki kekayaan lebih di masyarakat dan tingkatan fakir miskin. Karena diantara tujuan Islam adalah mengangkat tingkatan orang-orang fakir miskin dan mengalihkannya pada tingkatan produksi.
2. Dapat menanggulangi persoalan pengemis dan gelandangan di masyarakat
Diantara problematika terpenting yang melanda di masyarakat sekitar kita adalah meminta-minta (para pengemis) dan gelandangan. Dalam masyarakat yang menerapkan sistem zakat, maka kedua problema ini dapat ditanggulangi dengan baik. Sebab pada hakikatnya, para pengemis dan gelandangan itu adalah termasuk golongan orang-orang fakir miskin (golongan pertama) yang berhak menerima bagian zakat. Mereka sadar, bahwa dirinya termasuk golongan mustahiqqin dan bukanlah bagian yang hilang dari suatu komunitas. Karenanya mereka akan mencari orang-orang yang menangani hasil zakat untuk memperoleh hak-haknya.
Al-Quran juga telah memberikan perhatian terhadap Ibnus Sabil (para musafir) dalam surah Makiyyah atau Madaniyyah dan memerintahkan kaum muslimin dalam mayoritas surat itu untuk berbuat baik padanya dan memenuhi haknya, kemudian memberikan bagian padanya dari harta zakat. Hal itu tiada lain, melainkan karena Islam senang jika seseorang memiliki rumah sendiri yang mendapat perlindungan. Sebaliknya Islam benci jika seseorang menjadi anak jalanan yang tidak memiliki rumah alias gelandangan. Dari sini, syariat menetapkan bahwa seseorang hendaknya memiliki rumah yang layak yang dapat melindungi dirinya dan keluarganya. Sebagian ulama kontemporer, menafsirkan ibnus Sabil dalam ayat zakat dengan kata anak terlantar sehingga mereka wajib mendapatkan bagian dari harta zakat.
Ketiga, dapat membantu dan berkontribusi terhadap pengembangan kekuatan militer dan politik dalam suatu komunitas. Merupakan suatu keniscayaan, bila ingin mengembangkan kekuatan militer maka harus melengkapi persenjataan mereka dan melatih kemiliteran. Semua itu butuh biaya yang tidak sedikit, bahkan bisa membutuhkan jutaan dolar. Terlebih di masa sekarang. Suatu negara yang menerapkan praktik zakat dengan sebenarnya, maka hasil yang akan diperoleh akan jauh lebih besar dan banyak melebihi sistem pajak. Sebab, kaum muslimin sadar bahwa kewajiban membayar zakat itu adalah memenuhi hak Allah. Terlebih lagi jika mereka mengetahui, bahwa hak Allah itu akan didermakan dalam pendistribusian yang sesuai dengan syariat yang telah diperintahkan oleh Allah swt.
Zakat dapat memperkokoh tatanan politik dan mengkonsolidasikannya. Lebih-lebih kekuatan sistem militer dan kemampuan menghadapi musuh-musuh di dalam atau di luar. Sebab, orang yang memberi dan menerima zakat percaya dengan sepenuh hati bahwa mereka bekerja sama dalam mengatur pemerintahan dan mengatur pembelanjaannya, pendanaannya untuk mewujudkan perintah Allah dan taat pada-Nya dalam mendermakan harta pada distribusi yang syar’i.
Kata Sabilillah dalam ayat zakat mengandung makna yang luas. Karenanya negara bisa menyisihkan sebagian hasil zakat untuk memperkuat para tentara militer muslimin dengan membelikan persenjataan, amunisi, dan juga didermakan kepada para pejuang demi membela tanah air dan mempertahankan negara Islam.
Begitupun dalam masaah politik, bukankah Allah swt telah menggariskan distribusi zakat pada delapan golongan yakni: fakir miskin, muallaf, orang yang memiliki hutang, ibnus sabil, para budak, sabilillah dan para amil? Cukuplah bagi kita berpikir, apa jadinya jika negara mengabaikan mereka semua tanpa diberi zakat? Pasti yang terjadi adalah kekacauan, kemarahan, penyiksaan dan kedzaliman. Dengan diterapkannya zakat, maka stabilitas keamanan politik dapat terkendali dengan baik.
B. Mengatasi persoalan Ekonomi Masyarakat Indonesia
Sebagian masyarakat berasumsi bahwa, zakat adalah penyebab berkurangnya modal tahunan. Akan tetapi mereka tidak sadar bahwa zakat sebenarnya hanya wajib pada harta yang disimpan dalam masa satu tahun dan telah mencapai satu nishob. Berkurangnya harta seseorang yang diakibatkan zakat dapat mendorong dia untuk menginvestasikan hartanya (mengembangkan) sehingga dia dapat membayar zakat dari hasil/income yang diperoleh dari investasinya tersebut. Dengan demikian seseorang tetap dapat menjaga modalnya/harta pokoknya dan dia akan berusaha mengembangkannya. Dan syariat telah memotivasi akan hal itu. Berdasarkan sebuah hadits,
ﺇﺘﺟﺮﯙﺍ باموال اليتامى ﺤﺘﯽ لا تأكلها الزكاة
Artinya: “Perdagangkan (kelola)lah harta anak-anak yatim itu sehingga tidak habis termakan zakat”
Zakat dapat menambah income dan kekayaan (asset) masyarakat. Ia dapat membersihkan harta, menambah keberkahannya, serta dapat memelihara dari bencana, mencegah dari faktor-faktor kerusakan harta, hilang. Sebagian harta yang dizakati akan kembali pada kalangan pekerja fakir miskin yang turut berkontribusi dalam menciptakan berkembangnya harta. Dari itu, rasa cinta mereka terhadap pemeluk harta semakin meningkat, sehinga dapat mendorong mereka mengerahkan segala kemampuannya untuk mewujudkan kerelaan pemilik harta. Kemudian, tanpa diragukan lagi, dapat menyebabkan berlipat gandanya rasio investasi dalam modal. Pada sisi lain pemerintah juga turut menangani dalam bidang mendrmakan sebagian hasil zakat terhadap pelayanan-pelayanan umum yang diperoleh dari modal yang diinvestasikan tersebut. Sehingga semakin berkembang dan bertambah.
1. Mengatasi penimbunan atau monopoli
Islam melarang menimbun harta tanpa ada batasan. Karena harta yang ditimbun tersebut berarti menjadi sesembahan kepada selain Allah. Dalam kondisi yang sama pula harta menjadi sesembahan sekawanan syaithan atau orang-orang bakhil yang gemar menimbun hartanya. Sehingga ayat tentang pelarangan israf (berlaku boros) adalah umum terhadap kesemua anggota masyarakat, kaya ataupun fakir. Hanya saja sudah dimaklumi, bahwa hanya orang-orang kayalah biasanya yang melewati batas keharaman penimbunan ini, baik karena cerobohnya mereka dalam membelanjakan hartanya atau karena boros.
Zakat berperan memerangi monopoli yang dapat mencegah uang dari menunaikan tugasnya, yaitu sebagai wasilah/perantara dalam pertukaran barang (perputaran uang). Sehingga pada waktu yang bersamaan, zakat dapat pula mengembangkan harta tersebut. Menunaikan zakat kepada terhadap mustahiq yang membutuhkan dapat menyebabkan perubahan model konsumtif dan permintaan barang-barang konsumtif terhadap kebutuhan-kebutuhan primer. Demikian ini akan meminimalisir permintaan terhadap barang-barang konsumtif sehingga konsekuensi selanjutnya, tentu akan meningkatkan investasi. Islam telah menciptakan jaminan sosial dan solidaritas umum bagi setiap individu masyarakat sebagai perlawanan kerugian yang beraneka ragam yang tercakup dalam aktivitas ekonomi.
2. Peran Zakat Mengentas Kemiskinan dan Pengangguran
Diantara peran zakat, terdapat beberapa mekanisme pendistribusiannya, yang jika diterapkan, maka akan sangat efektif dalam mengurangi kemiskinan dan mengatasi pengangguran, khususnya yang terjadi di Indonesia.
a. Penyaluran zakat untuk pelatihan karyawan sebagai SDM yang ahli
Untuk menghasilkan produksi yang berkualitas baik, maka peran karyawan sebagai tenaga kerja haruslah terdiri dari SDM yang berkeahlian dan memiliki integritas yang tinggi dalam memajukan perusahaan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas SDM yang ahli, dapat dilakukan seperti yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz, zakat tidak semata-mata untuk diberikan dan dikonsumsi, tetapi dipakai sebagai pelatihan skill untuk mengelola modal usaha yang efektif dan baik. Sehingga mereka mampu mendapatkan pekerjaan yang layak dan dapat meningkatkan pendapatannya. Ini diberikan bagi mereka yang memang berhak menerimanya.
Penerapan zakat dengan orientasi seperti ini pernah mencapai titik gemilang pada masa Umar bin Abdul Aziz. Hanya dalam masa 2 tahun beliau berhasil mengentaskan kemiskinan sehingga tidak ada lagi yang mau menerima zakat. Semua rakyatnya merasa sudah menjadi muzakki (pembayar zakat) bukan lagi mustahik (penerima zakat). Sebagaimana dituturkan Abu Ubaid bahwa Gubernur Irak Hamid bin Abdurrahman sewaktu mengirim surat kepada Amirul Mukminin tentang melimpahnya dana zakat di baitulmaal karena sudah tidak ada lagi yang mau menerimanya, lalu Umar bin Abdul Aziz memerintahkan untuk memberikan gaji dan hak rutin orang di daerah itu, dijawab oleh Hamid “Kami sudah memberikannya tetapi dana zakat begitu banyak di baitul maal, lau Umar bin Abdul Aziz menginstruksikan untuk memberikan dana zakat tersebut kepada mereka yang berhutang dan tidak boros. Hamid berkata, “Kami sudah bayarkan hutang−hutang mereka, tetapi dana zakat begitu banyak di Baitul Maal”, kemudian Umar bin Abdul Aziz memerintahkan agar ia mencari orang lajang tidak memiliki cukup uang dan ingin segera menikah, agar dinikahkan dan dibayarkan maharnya, dijawab lagi “kami sudah nikahkan mereka dan bayarkan maharnya tetapi dana zakat begitu banyak di baitul maal”. Akhirnya Umar bin Abdul Aziz memerintahkan agar Hamid bin Abdurrahman mencari seorang yang biasa membayar upeti atau pajak hasil bumi. Jika ada kekurangan modal dalam usahanya, berilah pinjaman kepada mereka agar ia mampu kembali mengolah lahannya dengan baik. Kita tidak menuntut kecuali setelah dua tahun atau lebih”. Cara inilah yang disebut penyaluran zakat produktif.
b. Penyaluran untuk menyediakan sarana infrastruktur
Terlepas dari pro dan kontra para ulama mengenai penyaluran zakat sebagai pengadaan infrastruktur, penulis melihat 'umum al-Lafdzi "Fii Sabilillah" (keumuman lafadz "Jalan Allah") Sesuai dengan kaidah ushul fiqh, bahwa al-'Ibrah fii 'umum al-Lafdzi, laa bi khusus al-Sabab (yang dianggap adalah keumuman lafadznya, bukan kekhususan penyebabnya) Jadi, segala sesuatu atau sarana yang mengarah pada jalan kebaikan, maka hal itu termasuk dalam katagori Fii Sabilillah. Oleh karena itu, zakat dapat didistribusikan dalam bentuk pembangunan infrastruktur dan fasilitas sosial, serta sarana-sarana yang dapat memperlancar pembangunan ekonomi. Dengan adanya pembangunan ini tentu akan menyerap banyak tenaga kerja, dan pendapatan nasional akan bertambah.
c. Menjaga keseimbangan penawaran dan permintaan tenaga kerja
Jika kita amati pengangguran yang terjadi di Indonesia, lebih disebabkan adanya ketimpangan antara permintaan dan penawaran tenaga kerja, sehingga ada sejumlah tenaga kerja yang tidak terserap. Dengan zakat, masalah seperti ini dapat di atasi dengan cara, meningkatkan permintaan TK melalui pembukaan lapangan kerja baru yang bersumber dari dana zakat. Dana zakat yang terhimpun, dapat dibuat pabrik-pabrik industri, atau pembangunan tempat-tempat penginapan yang bisa diijarahkan (disewakan) dan lain-lain. Hal ini sekaligus akan menciptakan stimulus dan motivasi untuk bekerja bagi mereka yang pengangguran. Sebab zakat diberikan dalam dua bentuk: konsumtif dan produktif, yang dimaksudkan meminimalisir tingkat pengangguran sehingga tercipta keseimbangan.
VII. KESIMPULAN
Dari paparan diatas, dapat kita ambil benang merah, bahwa jika suatu negara menerapkan zakat dengan sebenarnya, maka masalah sosio-ekonomi seperti kemiskinan, pengangguran, tindak kejahatan, dan disintegrasi, dapat diatasi dengan baik dengan cara pengoptimalan zakat. Sayangnya, potensi zakat yang sangat besar yang ada di Indonesia saat ini tidak dikelola dengan cara optimal. Hal ini lebih disebabkan, penanganan zakat dilakukan secara terpencar-pencar oleh lembaga-lembaga amil zakat, sehingga hasilnya pun tidak signifikan mempengaruhi pertumbuhan perekonomian Indonesia.
Disarankan kepada Pemerintah, sesuai dengan penelitian yang penulis lakukan, agar penanganan zakat di kelola secara secara terpusat oleh satu lembaga atau badan otoritas resmi yang diangkat oleh negara, semacam mentri perzakatan dan perwakafan. Melihat masyarakat Indonesia yang diwakili oleh masyarakat Dramaga Bogor, sebanyak 98% telah sadar dan sukarela membayar zakat secara rutin. Artinya, jika pemerintah pun mewajibkannya, maka masyarakat akan senantiasa legowo menerima dan melaksanakannya. Sehingga zakat bukan lagi bersifat sukarela (voluntary zakat system) melainkan menjadi kebijakan fiskal yang bersifat wajib (obligatroy zakat system).
Zakat, hanyalah salah satu instrumen yang dimiliki oleh Ekonomi Islam yang ternyata mampu menjawab segala persoalan sosio-ekonomi yang dihadapi oleh sebuah negara. Jika instrumen ini digabung dengan penerapan instrumen lainnya, seperti wakaf, kharaj, Musyarakah dalam perbankan syariah, dan lain-lain, maka dapat dipastikan perekonomian Indonesia akan mengalami pertumbuhan yang sangat drastis dan pada akhirnya, apa yang kita impikan, Indonesia akan menjadi negara yang subur makmur, sentosa, gemah ripah loh jinaweh. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Karim
Al-Ghazali, Abu Hamid. 1991. Ihya’ Ulum al-Dien. Vol. II. Daar al-Fikr, Beirut – Lebanon.
Al-Malaibary, Zainuddin. 1994. I’anah al-Thalibin, vol. III. Daar al-Fikr, Beirut – Lebanon.
Al-Nawawi, Syarafuddin, tt. Syarh Muslim li al-Nawawi. Daar al-Fikr, Beirut - Lebanon.
-------------, 1994. al-Majmu’ ‘ala Syarh Muhaddzab. Daar al-Fikr, Beirut – Lebanon.
Az-Zuhayli, Wahbah, 1999. al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh. Daar al-Fikr, Beirut - Lebanon.
Al-Qaradhawi, Yusuf. 2007. “Hukum Zakat” (Penerjemah: Drs.Didin Hafiduddin dan Drs. Hasanuddin) PT. Pustaka Litera Antarnusa – Jakarta.
Deliarnov, 2005. ”Perkembangan Pemikiran Ekonomi” Ed. Revisi. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Yafie, Ali Prof. KH. 2003. ”Fiqih Perdagangan Bebas” Cet. II. Teraju dan PT. AHAD-Net International – Jakarta.
Chapra, M. Umer. 1997. ”Al-Quran menuju sistem moneter yang adil” (penterjemah: Drs. Lukman Hakim, MA) PT. Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta.
Karim, Adiwarman A. 2007. ”Ekonomi Makro Islami” Ed. 3. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Monzer, Kahf. 1979. ”Ekonomi Islam; Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam” Cet. I (penerjemah: Machnun Husein). Pustaka Pelajar Yogyakarta.
Sakti, Ali. 2007. ”Ekonomi Islam: Jawaban Atas Kekacauan Ekonomi Modern” Paradigma & AQSA Publishing – Jakarta.
Mannan, M.A. 1997. ”Teori dan Praktek Ekonomi Islam” (penerjemah: Drs. M. Nastangin) PT. Dana Bhakti Prima Yasa – Yogyakarta.
www.bps.go.id (Berita Resmi Statistik No. 05/01/Th. XI, 2 Januari 2008)
Qardhawi, Yusuf. Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan. Jakarta: Gema Insani Press, 1995
Lampiran Questioner NO : _____
Tanggal : _______________________________________________2008
1. Nama : …………………………………………………………..
2. Alamat : …………………………………………………………..
3. Agama : …………………………………………………………..
4. Pekerjaan : ..........................................................................................
5. Jenis Kelamin : a. Laki-laki b. Perempuan
6. Umur : a. 15-20 tahun b. 20-25 tahun c. 25-30 tahun d. 30-35 tahun e. >35 tahun
7. Status : a. Menikah b. Single
8. Apakah Anda sudah terkena wajib pajak?
a. Ya, sebutkan pajaknya: . . . . . . .
b. Belum
c. Tidak
9. Apakah Anda sudah rutin membayar pajak?
a. Ya, dalam jangka waktu : . . . . . .
b. Belum
c. Tidak
10. Apakah Anda juga rutin membayar zakat? Zakat yang dibayar berupa.....................
a. Ya, dalam jangka waktu: . . . . . . .
b. Belum
c. Tidak
11. Dana sukarela apa yang Anda keluarkan selain zakat?
a. Infaq b. Shadaqah c. Wakaf d. lainnya: . . . . . . .
12. Jika membayar zakat dapat menggugurkan kewajiban untuk membayar pajak kepada pemerintah, apa yang Anda pilih?
a. Membayar pajak, dan tidak membayar zakat
b. Membayar zakat, dan tidak membayar pajak
c. Membayar keduanya
d. Tidak membayar keduannya
13. Apakah menurut Anda, Lembaga/Badan Amil Zakat yang ada di Indonesia sudah menjalankan kinerja yang baik?
a. Baik b. Cukup c. Buruk d. Tidak tahu
14. Apakah Anda setuju jika pengumpulan dana Zakat, Infaq, Shadaqah, dan Wakaf dikoordinir oleh satu lembaga saja?
a. Ya
b. Tidak, karena . . . . . . . . .
Resume Questioner
Dari jumlah questioner yang disebar di wilayah Darmaga-Bogor, sebanyak 50 lembar dengan metode random sampling diperoleh pengembalian atas angket sebanyak 100%, dengan rincian sebagai berikut:
1. Kewajiban membayar pajak
Terkena wajib pajak : 24 responden (49%)
2. Kerutinan membayar pajak
Rutin bayar pajak : 16 responden (32%)
3. Kerutinan membayar zakat
zakat fitrah, mal, dan profesi : 49 responden (98%)
4. Pengeluaran dana sukarela
infaq : 15 responden
shadaqah : 42 responden
wakaf : 0 responden
lainnya : 2 responden
5. Opini penggantian zakat atas pajak
Setuju : 29 responden (58%)
Membayar keduanya : 20 responden (42%)
6. Opini kinerja LAZ/BAZ
Baik : 15 responden (80%)
Cukup : 23 responden
Buruk : 5 responden
Tidak tahu : 7 responden
7. Pengumpulan zakat terpusat
Setuju : 40 responden (80%)
Tidak setuju : 9 responden
Dari keseluruhan responden, ternyata hanya 32% yang rutin membayar pajak, sedangkan yang rutin membayar zakat mencapai 98% dari sample yang diambil.
Dari hal tersebut tentunya kita dapat melihat bahwa masyarakat Indonesia yang diwakili oleh wilayah Darmaga-bogor lebih memilih rutin membayar zakat dari pada membayar pajak ke pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan jumlah responden yang setuju dengan zakat sebagai penggugur/pengurang pajak sebanyak 58% dan 80% responden yang setuju dengan pengumpulan zakat secara terpusat.
EKSISTENSI PERAN PERBANKAN SYARIAH DALAM MENOPANG USAHA RAKYAT DI TENGAH KOMPETISI GLOBAL
EKSISTENSI PERAN PERBANKAN SYARIAH DALAM MENOPANG USAHA RAKYAT DI TENGAH KOMPETISI GLOBAL
Pendahuluan (dinamika potret perekonomian Indonesia)
Situasi ekonomi saat ini tidak terlepas dari dinamika perubahan akibat krisis multidimensi dan reformasi pada tahun 1998. Pada Orde Baru, pemerintahan itu telah cukup berhasil menyandingkan dua pilar penting pendorong pertumbuhan ekonomi dengan stabilitas politik dalam Trilogi Pembangunan. Kedua pilar inilah yang belum terselesaikan pascakrisis 1997-1998 hingga saat ini. Kedua pilar itu yaitu investasi dan pemerataan hasil pertumbuhan ekonomi (seperti ketersediaan lapangan pekerjaan dan terpenuhinya kebutuhan pokok dengan harga yang dapat diakses masyarakat kecil). Tetapi sayang sistem perekonomian Soeharto saat itu lebih terkesan kapitalisme-otoritarian, pemerintah memiliki kekuasaan tak tertandingi. Meskipun dari segi positif pemerintah memiliki “power” untuk menjamin tercukupi kebutuhan pokok masyarakat dan merencanakan pembangunan jangka panjang. Akan tetapi keadaan ini menjadikan pemerintah menjadi sangat korup dan otoriter. Akumulasi dari kekecewan rakyat pun akhirnya bertemu pada titik dimana pada tahun 1998 pemerintah Orba gagal menghadapi krisis moneter, hal ini akibat kolapsnya negara-negara Asia dalam mengelola dana jangka panjang saat itu.
Pasca berakhirnya rezim tirani, rakyat pun yang dimotori mahasiswa dan politisi mengusung reformasi sebagai kendaraan menuju kebebasan Demokrasi. Tetapi sayangnya harapan rakyat mesti tergilas oleh gagalnya demokrasi pasca reformasi untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat. Demokrasi yang lahir saat ini tak lebih dari alat kampanye dan arena ‘money politic’ semata.
Di lain pihak rakyat khususnya pengusaha kecil dan petani dibiarkan bertarung sendiri di “medan perang” Globalisasi. Sebagai contoh pada kasus kedelai pada tahun 2000 lalu pemerintah Amerika Serikat melalui USDA (United State Department of Agriculture) meluncurkan kredit ekspor sebesar 12 juta dolar AS dan tahun 2001 sebesar 750 juta dolar AS. Fasilitas kredit ini diberikan khusus kepada importir kedelai Indonesia. Harga kedelai impor yang lebih murah yakni Rp 1950 per kilogram, dibandingkan dengan kedelai lokal yang berkisar 2.500 rupiah per kilogram pun turut mengurangi kompetensi kedelai lokal dalam negeri. Munculnya UU No 12/1992 tentang sistem budidaya tanaman yang membebaskan petani untuk mengembangkan komoditas yang mereka sukai, secara tidak langsung telah menurunkan produksi kedelai dalam negeri tiap tahunnya, karena petani enggan memproduksi kedelai. Sebagai gambaran, tahun 2007 produksi kedelai lebih rendah 18,6% dibanding tahun 2006 yang mencapai 747.611 ton. Di lain pihak, seiring meningkatnya kebutuhan minyak dunia, dan maraknya isu global warming sementara persediaan minyak dunia yang ada semakin terbatas. Hal ini pun memicu sejumlah negara maju termasuk Amerika Serikat mulai mengembangkan energi alternatif, yakni bahan bakar nabati (BBN), AS mengembangkan etanol yang berbasis jagung. Kebijakan AS ini mengakibatkan harga jagung melambung tinggi, dan petani di AS beralih memproduksi jagung ketimbang kedelai. Turunnya pasokan kedelai dari AS selaku pemasok utama kedelai dalam negeri tentunya berimbas pada kenaikan bahan baku tahu tempe di Indonesia, yang tiap tahunnya rata-rata mengimpor 1,3 juta ton atau 60% dari kebutuhan kedelai nasional. Melihat ilustrasi keadaan petani kecil di depan, sudah seharusnya pemerintah memberikan jaminan harga yang baik di tingkat petani, agar para petani tetap semangat memproduksi kedelai meskipun dihimpit persaingan pasar global. Selain itu, penting pula dibentuk desain perubahan kelembagaan pengkreditan di wilayah pedesaan dan sektor pertanian. Karena pada kenyataannya lembaga keuangan formal yang diusung pemerintah tidak bisa dijangkau petani, meskipun jarak secara fisik dekat. Hal ini karena persyaratan administrasi yang berbelit dan adanya agunan. Akibatnya lembaga keuangan ini hanya dapat diakses oleh petani skal besar. Ironisnya, petani kecil juga sulit mengambil kredit dari lembaga keuangan informal seperti rentenir, karen keberadaanya mulai tergantikan oleh penetrasi lembaga keuangan formal. Inilah titik di mana petani lemah terkait modal berproduksi yang pada akhirnya mengancam ketahanan pangan nasional.
Keadaan perekonomian Indonesia yang rentan terhadap perubahan atau gejolak perekonomian dunia turut memperkeruh keadaan. Investasi yang menjadi salah satu faktor pendukung pertumbuhan ekonomi relatif menurun, akibat tindakan investor asing yang menarik dananya dari Indonesia untuk membiayai kerugian dari subprime mortgage tahun lalu dan untuk membayar kewajibannya dalam membayar carry trade saat ini. Hal ini bukan saja menyebabkan anomali melemahnya rupiah di saat kurs lain menguat terhadap dolar, tapi juga imbal hasil (yield) Surat Utang Negara (SUN) mengalami peningkatan cukup tinggi atau harganya menurun. Permasalahan ini membuat suku bunga pada bank konvensional dalam negeri mudah berfluktuasi, dan pada akhirnya melahirkan kasus kredit macet pada mayoritas perusahaan besar.
Potret usaha mikro kecil menengah (UMKM) Indonesia pun harus turut diperhatikan eksistensinya. Dari pengalaman masa krisis moneter lalu UMKM relatif bertahan karena fleksibel dan tidak bergantung bahan impor. Meskipun saat itu hampir seluruh sektor usaha terkena dampak krisis moneter, tapi UMKM tidak menjadi beban negara seperti kelompok konglomerat ytang menyebabkan negara harus menanggung kredit macet akibat tingkat suku bunga yang tinggi saat itu. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pasca krisis pun tak lepas dari peran UMKM yang memberikan kontribusi dalam penyerapan tenaga kerja sekitar 99,5%, dalam pengalokasian untuk PDB 56,7 %, dan kontribusi dalam ekspor non migas sekitar 19,1%. Melihat peranan UMKM yang cukup besar ini sudah semestinya pemerintah menaruh perhatian lebih khususnya terkait pemberian bantuan pinjaman kredit. Banyak UMKM potensial tetapi belum terlayani karena keterbatasan akses dan pemahaman, kurang lebih 70% UMKM belum terlayani oleh bank dan lembaga keuangan.
Eksistensi Perbankan Syariah di Tengah Persaingan Global
Perkembangan perekonomian global belakangan ini cukup menyita perhatian hampir semua negara di dunia terutama Indonesia, selaku negara berkembang. Permasalahan ekonomi Amerika Serikat terkait krisis perbankannya yang kemudian memicu terjadinya kegagalan utang KPR yang bermasalah (subprime mortgage), sehingga AS mengalami kerugian US $ 100 miliar dan menekan Bank Sentral AS. Pada akhirnya masalah ini menghantarkan dolar AS terpuruk tinggi terhadap euro, yen, dan poundsterling. Meskipun begitu nilai rupiah Indonesia justru melemah terhadap dolar AS. Anomali ini diduga juga disebabkan oleh perkembangan nilai tukar rupiah yang dipengaruhi permintaan dan penawaran dolar AS di pasar valuta Indonesia. Sehingga ketika harga minyak dunia naik menjadi $ 100 AS per barrel, Indonesia selaku pengimpor minyak dunia mau tak mau harus meningkatkan permintaannya terhadap dolar AS. Naiknya permintaan terhadap dolar AS, sementara kenaikan penawarannya terbatas otomatis menekan pasar valuta asing, sehingga mendorong nilai rupiah untuk turun. Oleh karena itu meskipun pada kenyataannya Indonesia termasuk negara penghasil minyak dan harga minyak mengalami kenaikan yang signifikan, bagi Indonesia pengekspor 300.000 barrel dan pengimpor 250.000 barrel minyak per harinya, keadaan ini nyaris tidak memberikan keuntungan.
Melihat ilustrasi perekonomian Indonesia tersebut dapat dilihat bahwa perekonomian Indonesia termasuk perekonomian terbuka kecil (small open economy), dimana perekonomiannya adalah bagian kecil dari perekonomian dunia sehingga ketika perekonomian dunia terguncang khususnya pada negara-negara maju seperti AS, perekonomian dalam negeri pun ikut terpengaruh. Hal ini pun membuat suku bunga pada bank konvensional dalam negeri mudah berfluktuasi. Oleh karena itu, Indonesia memerlukan suatu sistem keuangan dan perbankan yang dapat tetap stabil meskipun berada di tengah-tengah ketidakpastian ekonomi dunia.
Di dalam dunia perbankan sendiri telah dikenal adanya perbankan syariah, yang memiliki karakteristik tingkat bagi hasil yang cenderung stabil. Istilah ’bagi hasil’ dalam perbankan konvensional dikenal dengan ’bunga’ (interest fee). Perbedaan utama antara sistem keuangan dan perbankan konvensional dengan sistem keuangan dan perbankan syariah adalah pada konsep “Time Value Of Money”. Pada sistem keuangan dan perbankan konvensional uang merupakan aset yang dapat berkembang seiring waktu. Sedangkan, pada perbankan syariah uang dipandang sekedar sebagai alat tukar yang bernilai tetap, yang kemudian oleh perbankan syariah uang ini akan dikelola pada sektor-sektor usaha riil yang menguntungkan. Ini berarti bahwa pada perbankan syariah ada sistem bagi hasil yang tidak sama dengan bunga pada bank konvensional, dimana nasabah dalam hal ini berperan sebagai pemilik uang, sedangkan bank sebagai pihak peminjam sekaligus lembaga keuangan yang mengelola uang nasabah.
Karakteristik perbankan syariah berupa tingkat bagi hasil yang cenderung stabil daripada bunga di bank konvensional otomatis membuat daya tarik tersendiri.
Sistem ekonomi konvensional saat ini yang berpatokan pada bunga dinilai mudah berfluktuasi sebagai akibat terguncangnya perekonomian negara maju seperti AS, yang pada akhirnya akan menciptakan akumulasi hutang yang baru akibat semakin tingginya bunga di tengah ketidakpastian perekonomian global. Pada kenyataannya money supply dipegang oleh sebagian besar kalangan masyarakat ekonomi atas, sehingga ketika pertumbuhan pada PDB kuartal III tahun 2007 diumumkan naik sekitar 6,5%, asumsi masyarakat luas terhadap peningkatan ekonomi cenderung negatif karena pada dasarnya money supply mereka rendah sedangkan money demandnya cenderung tinggi. Oleh karenanya sistem ekonomi syariah sangat cocok diterapkan oleh Indonesia dalam rangka mencapai pembangunan ekonomi yang merata, sekaligus sebagai langkah cerdas untuk mengurangi angka kemiskinan
Potensi perbankan syariah di Indonesia yang memiliki jumlah penduduk mayoritas muslim sebenarnya berpeluang besar menjaring sektor pasar yang lebih luas lagi. Hasil survey Bank Indonesia tahun 2000-2001 pada enam provinsi yang rata-rata populasi muslimnya diatas 97% terdapat 42% yang menganggap sistem bunga bertentangan dengan ajaran agama. Sedangkan, yang memahami produk, jasa, dan manfaat perbankan syariah adalah sebesar 11%. Potensi pasar perbankan syariah yang sedang tumbuh pesat ditunjukkan dengan compound annual growth rate (CAGR) pertumbuhan aset perbankan syariah pada periode 2000-2003 sebesar 74,98% jauh di atas CAGR pertumbuhan total aset perbankan nasional sebesar 5,85%.
Melihat sekilas data di atas, Indonesia sendiri meskipun belum memiliki satu pun bank syariah yang masuk kategori dengan aset di atas 1 miliar dolar AS, Indonesia patut tersenyum bangga, karena pertumbuhan perbankan syariahnya merupakan yang paling pesat baik dari segi bertambahnya bank (yang menawarkan produk syariah) maupun dari segi pertumbuhan asetnya. Tidak hanya itu saja, tingkat profitabilitas bank syariah di Indonesia merupakan yang terbaik di dunia diukur dari rasio laba terhadap aset (ROA), baik untuk kategori bank full fledge maupun unit usaha syariah suatu bank konvensional (dual bangking system). Tingkat efisiensi operasi yang diukur dari rasio biaya operasi terhadap pendapatan operasi (full fledge) yang tercermin dalam kinerja Bank Muamalat dan Bank Syariah Mandiri pun sangat menonjol dibandingkan bank syariah lain di kawasan manapun.
Hingga Mei 2007, jumlah perbankan syariah telah mencapai 128 Bank. Bank-bank itu terdiri atas 3 bank umum syariah , 23 unit usaha syariah dari bank umum konvensional, serta 106 Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Dalam kurun waktu terakhir sekitar September 2007 jumlah Bank dan kantor perbankan syariah masing-masing sudah mencapai 27,27 persen dan 12,04 persen. Sedangkan untuk total Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksadana syariah bulan Desember 2003 adalah sebesar Rp 66.935,19 juta dan NAB pada Desember 2006 sebesar Rp 689.053,42 juta, artinya NAB reksadana syariah dalam waktu tiga tahun telah meningkat sebesar 1029 persen dari Desember 2003.
Adapun salah satu faktor pendukung tingginya pertumbuhan aset perbankan syariah di Indonesia adalah adanya regulasi UU No. 7 tahun 1992 yang mengijinkan dual banking system (unit usaha atau divisi dari bank konvensional). Enam tahun kemudian pada tahun 1998, pemerintah telah memperkokoh eksistensi perbankan syariah di Indonesia lewat UU No. 10/1998 maka istilah “bank berdasarkan prinsip bagi hasil” yang terdapat dalam UU No. 7/1992 diubah dengan istilah “bank berdasarkan prinsip syariah”. Hal ini membuka kesempatan yang luas bagi pelaku perbankan syariah untuk memperluas pangsa pasar, sekaligus meningkatkan jumlah pemain baru yang masuk dalam pasar perbankan syariah. Kestabilan perbankan syariah di tengah tidak stabilnya perekonomian dunia maupun nasional, turut memberikan nilai tambah tersendiri di mata investor sekaligus menjadi salah satu faktor penarik pendukung perkembangan perbankan syariah pada umumnya. Pola pikir masyarakat akan wajibnya bermuamalah secara Islami pun turut mendukung meluasnya pangsa pasar di Indonesia, yang mayoritas penduduknya muslim.
Pola perbankan syariah juga sebenarnya telah menarik hati pihak asing yaitu Hongkong and Shanghai Banking Corporation (HSBC), salah satu Bank asing di Indonesia, yang pada pertengahan tahun 2003 lalu HSBC telah membuka unit syariah di Indonesia sekaligus menandai untuk pertama kali dibukanya unit syariah oleh Bank asing di Indonesia. Pihak asing lainnya yang berminat adalah Malaysia yang melalui banknya yakni, Asia Finance Bank (AFB), telah mengajukan permohonan izin dari Bank Indonesia untuk memiliki bank umum syariah di Indonesia, dengan target pada tahun 2008 mendatang. Selain kedua negara tersebut sejumlah bank asal Timur Tengah seperti Al Barokah, bank asal Arab Saudi, Qatar Islamic Bank dari Qatar dan dua bank lainnya dari Kuwait dan Uni Emirat Arab berencana membuka Unit Usaha Syariah (UUS) pada tahun 2008 mendatang. Di dalam negeri pun bank sentral (Bank Indonesia) turut mendorong bank-bank asing untuk membiayai proyek berskala besar secara syariah. Proyeknya antara lain pembangunan infrastruktur yang saat ini sulit dilakukan bank syariah domestik, terkait belum dimilikinya struktur modal yang kuat. Cetak biru pengembangan perbankan syariah nasional 2002-2011, yang dirancang oleh Biro Perbankan Syariah BI turut mendukung langkah perbankan syariah di Indonesia.
Menariknya selain pihak asing seperti HSBC (Hongkong and Shanghai Corporation), AFB milik Malaysia dan bank asing asal Timur Tengah, perusahaan-perusahaan besar yang memiliki saham dengan kapitalisasi pasar yang cukup besar pun seperti Astra Internasional, Perusahaan Gas Negara, Medco Energi, dan Bumi Resources yang juga tertarik untuk masuk ke dunia ekonomi syariah harus gigit jari, Saham mereka yang telah diajukan tidak ada yang masuk dalam DES (Daftar Efek Syariah), dikarenakan rasio utang terhadap ekuitasnya lebih dari 82%. DES sendiri akan ditetapkan secara resmi di Jakarta pada bulan Desember 2007 melalui keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor Kep.325/BL/2007. Daftar tersebut memuat 20 obligasi syariah atau sukuk, 169 efek syariah berjenis saham yang dikeluarkan emiten yang tercatat di bursa, serta lima efek syariah dengan jenis saham perusahaan public. Meskipun begitu DES baru akan berlaku efektif pada 1 Januari 2008 mendatang. Sayangnya nilai keagamaan dalam menentukan kriteria efek syariah berupa saham, kontribusi pendapatan non halalnya terhadap total pendapatan masih ada dan diperbolehkan yakni tidak lebih dari 10%. Pihak Bapepam-LK sendiri akan melakukan kajian ulang atas DES termasuk terkait dengan saham Emiten di dalam DES. Terkait DES akan berlaku efektif pada 1 Januari 2008 mendatang, manajer investasi selanjutnya diberi kesempatan dua hari untuk menyesuaikan asset utama pengelolaan reksa dana mereka dengan DES. Bapepam juga memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk membuat DES-nya sendiri dengan syarat pihak tersebut memiliki sumber daya manusia yang kompeten di bidang syariah. Akan tetapi pengalokasian SDM yang paham di bidang syariah masih sulit saat ini. Oleh karenanya pihak perbankan syariah diharapkan dapat mempersiapkan Sumber Daya Manusia siap pakai yang berkompeten, sebagai salah satu program kerja jangka panjang yang cerdas.
Meskipun persentase kinerja keuangan Bank umum syariah dan unit usaha syariah relatif cukup besar tetapi pertumbuhannya dinilai para ekonom masih kurang signifikan. Untuk dana pihak ketiganya yang menggunakan prinsip wadiah dan mudharabah yaitu giro, tabungan, dan deposito masing-masing pertumbuhannya sampai tahun 2007 hanya berkisar 3,32; 6,10; dan 13,25. Perkembangan NAB reksadana syariah sendiri meski dikatakan telah meningkat sampai 1029 persen, tetapi dibanding NAB industri reksadana Indonesia yang besarnya 51.620.077,36 juta, persentase NAB reksadana syariah terhadap NAB industri reksadana hanya sebesar 1,33 persen. Sedangkan pertumbuhan pangsa pasar perbankan syariah baru mencapai 1,7 persen. Karena itu tak heran jika target Bank Indonesia untuk mendorong pertumbuhan perbankan syariah ke level lima persen pada tahun 2008 dinilai terlalu ambisius oleh pemerintah. Menurut Menteri Koordinator Perekonomian Boediono di Jakarta, Rabu (24/10), saat membuka Indonesia Sharia Expo, meskipun target lima persen itu ambisius namun kalau semua pemangku kepentingan serius, maka target lima persen bisa saja didekati dalam 1-2 tahun mendatang. Hal ini berarti pula bahwa target Indonesia untuk mencapai pembangunan ekonomi yang merata melalui sistem ekonomi syariah mesti tertunda beberapa tahun.
Adapun permasalahan yang dihadapi industri perbankan syariah sekaligus faktor yang menghambat pertumbuhan perbankan syariah antara lain terbatasnya instrumen syariah yang menyebabkan aliran dana masyarakat masuk ke lembaga-lembaga keuangan syariah masih sangat minim. Kondisi ini menyebabkan pilihan berinvestasi bagi investor syariah sangat terbatas. Hal lain yang turut menciptakan pertumbuhan aset perbankan syariah cenderung melambat sampai tahun 2007 adalah adanya kebijakan pajak ganda yang dipungut dua kali dalam satu kali transaksi pembiayaan murabahah (jual beli), hal ini otomatis menyebabkan terhambatnya pertumbuhan transaksi syariah yang pada akhirnya menurunkan animo masyarakat saat ini,yang berorientasi terhadap keefektifan dan keefisienan. Proses amandemen undang-undang pajak pertambahan nilai yang seharusnya selesai pada tahun 2007 dan Undang-Undang surat berharga syariah negara yang saat ini sudah di DPR tetapi belum disahkan pun ikut andil menciptakan pertumbuhan aset syariah melambat. Dari segi hukum hal ini sangat diperlukan sebagai landasan yang kuat bagi eksistensi dan operasional perbankan syariah di Indonesia. Kesulitan lainnya adalah adanya asumsi masyarakat luas berkenaan dengan kecilnya tingkat bagi hasil yang ditawarkan perbankan syariah, dibanding dengan tingkat bunga tinggi plus hadiah-hadiah yang dipromosikan oleh bank konvensional pada umumnya. Padahal dalam kenyataannya perbankan konvensional sendiri saat ini sedang sibuk dengan program efisiensi, dikarenakan kredit konsumsi lebih banyak yang masuk daripada kredit investasi. Oleh karenanya untuk meningkatkan arus masuk kredit investasi, tingkat bantuan pengkreditan UMKM harus lebih ditingkatkan.
Perbankan Syariah “Heroik” Menuju Peningkatan Daya Saing
Meski terkesan terpojokkan, Perbankan syariah telah mampu memberikan sentuhan warna bagi industri jasa keuangan di Tanah Air. Krisis ekonomi dan moneter yang melanda tahun 1997-1998 mengancam perbankan nasional. Tingkat suku bunga tinggi menyebabkan biaya modal sektor usaha tinggi sehingga terjadi kemerosotan kemampuan usaha sektor produksi. Kualitas aset perbankan pun anjlok, padahal kewajiban untuk terus memberi imbalan kepada depositor sesuai dengan tingkat suku bunga tak dapat dihentikan. Akibat dari daya saing sektor produksi yang rendah maka terjadilah pengurangan peran sistem perbankan dalam menjalankan fungsinya sebagai intermediator kegiatan investasi. Dengan kata lain perbankan konvensional saat itu sedang kolaps. Banyak bank yang berguguran dan banyak pula yang mendapat dana ratusan triliun rupiah agar perbankan nasional tidak ambruk. Bahkan setelah krisis yang memporak-porandakan perekonomian nasional berangsur pulih puluhan bank terpaksa dilikuidasi. Akan tetapi, ada satu yang mampu menunjukkan kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan bank-bank konvensional, tak lain adalah perbankan syariah. Untuk memacu laju perkembangan industri perbankan syariah sehingga mampu menancapkan tombak menghalau perekonomian yang kacau diperlukan strategi yang tepat.
Pertama, dibutuhkan proaktif mempromosikan sistem perbankan syariah kepada masyarakat luas karena masih banyak masyarakat yang belum memahami manfaat serta keuntungan lembaga keuangan syariah, jenis produk, serta keunggulannya dibandingkan dengan lembaga keuangan konvensional. Masyarakat harus diberi bukti bahwa perbankan syariah memberi ketenangan dan kenyamanan dari sisi nurani serta keuntungan dari bisnisnya.
Kedua, terus berusaha meningkatkan layanan karena kunci sukses bisnis jasa adalah kepercayaan yang akan terbentuk sangat kuat jika layanannya memuaskan para pelanggan atau pengguna.
Meningkatkan layanan dapat ditempuh dengan banyak cara, antara lain memperbanyak jaringan kantor dan perluasan saluran distribusi, dalam hal ini akan lebih efektif jika pihak perbankan lebih memfokuskan kepada sentra pemasaran Hub (cabang besar yang mengkoordinir cabang yang lebih kecil) dengan transaksi melalui cabang pembantu / kantor kas. Selain itu harus meng-up grade sumber daya manusia (SDM), terutama di tenaga pemasaran syariah mesti diperkuat dan dipusatkan pada cabang-cabang (yang diposisikan sebagai Hub syariah, sehinnga investasi untuk membuka cabang baru syariah bisa ditekan, dan jangkauan area pemasaran lebih efektif, serta menciptakan produk-produk inovatif yang tetap mengacu pada prinsip syariah.
Membuka jaringan layanan memang membutuhkan investasi cukup besar, tetapi jika hal itu tak dilakukan maka sangat sulit mengaharapkan perbankan syariah kian berkembang. Kerjasama dan aliansi dengan lembaga sejenis bisa menghemat pengeluaran investasi.
Terkait dengan penyediaan SDM kini sudah banyak lembaga pendidikan tinggi swasta dan negeri yang membuka program studi ekonomi Islam atau perbankan syariah baik jenjang diploma maupun sarjana, sehingga masalah kelangkaan SDM di bidang lembaga keuangnan syariah akan cepat teratasi.
Sementara itu inovasi produk berhubungan erat dengan pemanfaatan teknologi informasi. Anjungan Tunai Mandiri (ATM), electronic banking, phone banking, mobile banking, dan sejenisnya yang sudah digunakan perbankan konvensional perlu diadopsi dan disesuaikan dengan prinsip syariah.
Ketiga, meningkatkan permodalan untuk mewujudkan postur perbankan syariah yang kuat dan sehat sebagai salah satu pilar perekonomian. Tak bisa tidak jika ingin besar maka bank-bank syariah harus menaikkan modalnya. Itu bisa dilakukan lewat penjualan saham ke pasar modal atau bekerja sama de3ngan bank syariah besar di berabagai negara. Dari situ kita berharap perbankan syariah di Indonesia berkembang menuju jati dirinya dalam menopang ekonomi nasional.
Selanjutnya adalah upaya penyesuaian antar fatwa Dewan Syariah nasional (DNS) dengan regulasi perbankan syariah. Harmonisasi penting agar peraturan-peraturan yang dikeluarkan BI sejalan dengan fatwa yang dikeluarkan oleh DSN. Pada aspek kestabilan system dan kemanfaatan bagi perekonomian perlu dibuat referensi yang akurat untuk mengarahkan pola pengembangan industri perbankan syariah yang sehat.
Berdasarkan cetak biru pengembangan perbankan syariah nasional 2002-2011 yang disusun Biro Perbankan Syariah BI, pengembangan perbankan syariah baru mulai memasuki tahap II yakni implementasi kelanjutan dari program-program pembentukan kerangka dasar sistem pengaturan yang disesuaikan dengan karakteristik operasional perbankan syariah yang sehat (tahap I). Sedangkan tahap III yang merupakan finalisasi sistem perbankan syariah diharapkan mampu memenuhi standar keuangan dan kualitas pelayanan internasional.
Akibat infrastruktur pasar dan aturan-aturan bisnis belum lengkap, termasuk RUU perbankan syariah menjadikan pelaku perbankan syariah harus berhati-hati dalam mengambil keputusan. Meskipun terkadang perbankan syariah terlihat bingung dalam memilih segmentasi yang tidak infokus. Hal ini pun sama kasusnya dengan model perbankan konvensional yang cenderung ikut-ikutan dalam memilih program kerja di pasar. Contohnya saat salah satu Bank syariah meluncurkan produk gadai syariah (rahn), maka bank-bank syariah lain cenderung mengikuti. Seharusnya pelaku perbankan syariah lebih memfokuskan diri terhadap strategi market development (pengembangan pasar) dan market penetration selain dari pada pengembangan produk.
Pemilihan segmentasi yang ingin dituju perbankan syariah haruslah sesuai dengan pola perbankan syariah sendiri. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa ada dua pola yaitu dual banking system dan full syariah banking. Secara umum pelaku perbankan syariah cenderung generik dalam pemilihan segmentasi termasuk juga dalam memilih produk dan strategi pasar, kecuali BII Syariah yang fokus terhadap segmentasi high nasabah individu berpendapatan tinggi dengan positioning yang jelas sebagai platinum syariah. Hal ini penting karena masing-masing pola memiliki kekuatan dan kelemahan yang berbeda sehingga diperlukan analisis yang kuat untuk memilih segmentasi pasar yang sesuai.. Kembali terhadap permasalahan yang kini sedang dihadapi pihak perbankan konvensional terkait dengan defisitnya kredit investasi daripada kredit konsumsi yana cenderung meningkat. Hal ini pun diperparah dengan persaingan yang tidak sempurna diantara bank-bank di Indonesia, dimana hanya 15 Bank utama yang menguasai hampir 75 persen pasar, sedangkan bank-bank konvensional lainnya harus saling berebut dalam lingkup 25 persen sisanya. Keadaan yang tidak berimbang ini pun mesti terusik oleh guncangan-guncangan ekonomi yang dialami Negara-negara maju selaku parameter kekuatan ekonomi dunia. Fluktuasi ekonomi dunia menjadikan tingkat bunga perbankan konvensional menjadi tidak terkendali. Kasus ini jelas sangat berbeda dengan perbankan syariah yang sejak lama berpola keuntungan bagi hasil dalam rangka mencapai perekonomian yang berkelanjutan dan adil.
Keberadaan perbankan syariah sendiri sebenarnya memberikan angin segar bagi dunia perbankan di Indonesia karena memberikan alternatif produk dan jasa perbankan bagi masyarakat terutama muslim, yang dari pengalaman krisis lalu terbukti mampu meningkatkan ketahanan satuan-satuan ekonomi melalui prinsip bagi hasil (profit and loss sharing) dan tidak mengenal berbagi risiko (risk sharing). Hal ini tentunya berbanding terbalik dengan perbankan konvensional yang menganut paham bunga (interest fee). Akhirnya jika penerapan strategi kerja yang mantap tersebut dalam rangka peningkatan daya saing
Peranan Bank Syariah dalam mendayagunakan UMKM
UMKM selaku sektor andalan pertumbuhan perekonomian bangsa memerlukan perpanjangan tangan dari lembaga keuangan khusus yang dapat mengakses nasabah mikro di banyak lokasi, sektor dan komunitas, terkait dengan skala ekonomis pembiayaan. Dalam menanggapi permasalahan ini beberapa Bank Syariah telah mengantisipasi dengan bekerja sama terhadap Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS).
Salah satru bank syariah yang melakukan program kerja ini adalah Bank Syariah Mandiri, yang akhir 2007 lalu telah membiayai lebih dari 100 LKMS dengan total plafon lebih dari 27 milyar. Jumlah ini pun akan terus ditingkatkan, baik dengan dana sendiri maupun bekerja sama dengan pemerintah, yaitu : Kementrian Koperasi dan UKM serta Departemen Kelautan, Deptan, KLH. Pada tingkat pemerintah, realisasi Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari program penjaminan kredit melalui Auransi Kredit Indonesi dan Perum Sarana Penjamin Usaha pada 5 November 2007 lalu sudah mencapau Rp. 348,259 milyar. Dengan perincian Bank Mandiri mengucurkan kredit 72,542 milyar,Bank Syariah Mandiri Rp 22,518 milyar, Bank BNI’46 sebesar Rp 5,5 milyar, BRI sebesar Rp 230 milyarm dan Bank Bukopin Rp 17,7 milyar (Kompas, 3 Januari 2008).
Selain upaya pemerintah bekerja sama dengan Askrindo dan Perum Sarana Pengembangan Usaha di aras, upaya lain yang ditempuh perbankan adalah melalui linkage program. Program ini menempatkan BPR dan BPRS sebagai community banks (local bank), dengan tujuan agar pembiayaan bank umum kepada UMKM dapat dilakukan dengan lebih efisien dan efektif, sekaligus untuk mengetahui karakteristik nasabah UMKM di lingkungannya dengan lebih insentif.
Sebagai gambaran, hingga periode laporan tercatat sebanyak 109 BPRS beroperasi di penjuru wilayah nusantaram dimana 4 BPRS diantaranya baru memulai operasionalnya pada tahun 2007 lalu. Keempat BPRS itu yakni BPRS Sindanglaya Kotanupan, BPRS Bumi Artha Sampang, BPRS Karya Mugi Sentosa, dan BPRS Jabal Nur. Total pembiayaan yang disalurkan sebesar Rp 865,25 milyar dimana seluruhnya merupakan pembiayaan kepada UMKM (Jaenal Effendi, Dosen Ilmu Ekonomi IPB)
Keterbatasan pihak UMKM dan petani untuk mengakses BPR
Selaku negara agraris yang cukup besar, Indonesia memiliki sektor pertanian yang berpotensi menyerap tenaga kerja (khususnya berketrampilan rendah) sekitar 43 persen dari angkatan kerja yang menganggur. Dari pendahuluan di depan, diketahui bahwa adanya lembaga keuangan formal yang diusung pemerintah (BPR maupun BPRS) kurang bisa dijangkau oleh petani, khususnya petani kecil skala kecil, hal ini terkait proses administrasi dan agunan yang cukup menyulitkan petani. Selain itu nasib UMKM pun hampir tak jauh beda dengan petani kecil, dimana baru 30% saja yang dapat dilayani oleh Bank dan lembaga keuangan pemerintah. Jika permasalahan ini dibiarkan tanpa ada tindak lanjut lebih intensif dan perhatian khusus dari berbagai pihak, maka tidak mustahil UMKM selaku penopang PDB 56,7% dan pertanian selaku selaku sektor ekonomi penyerap tenaga kerja kurang lebih 43% pun akan terpuruk seiring ketidakberdayaan pemerintah dalam menghadapi supply shock dari perekonomian dunia.
Potensi Peranan Mahasiswa dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah menopang UMKM dan Petani Skala Kecil
Mahasiswa selaku civitas akademik memiliki potensi cukup baik untuk dijadikan pelaku penunjang Lembaga keuangan mikro syariah. Karakteristik mahasiswa yang pada masa peralihan pemerintahan Pra-reformasi lalu terbukti memiliki keterikatan batin yang kuat terhadap rakyat, sangat kredibel untuk dijadikan referensi pelaku lembaga keuangan ini. Solusi untuk permasalahan para petani dan UMKM yang cenderung sulit dalam mengakses Lembaga keuangan formal dapat ditunjang dengan adanya Lembaga Keuangan mikro. Perlunya dibentuk desain perubahan kelembagaan pengkreditan di wilayah pedesaan dan sektor pertanian ini, sekaligus menopang UMKM selaku motor penggerak perkonomian rakyat di Indonesia sangatlah penting. Sebagai gambaran Lembaga Keuangan Mikro Syariah yang dibentuk mempunyai keunggulan dalam mekanisme, seperti sistem penghimpunan dana yang menerapkan sistem jemput bola, pelaksanaan kegiatannya melibatkan peran aktif masyarakat sekitar. Lembaga keuangan mikro tidak hanya memberikan pembiayaan tetapi juga memberikan pembinaan kepada nasabah. Adanya penerapan sistem bagi hasil berdasarkan kesepakatan bersama yang bertujuan agar nasabah tidakk dirugikan sehingga kedua belah pihak saling diuntungkan. Jika ada nasabah yang memiliki permbiayaan yang macet maka pendekatan kekeluargaan lebih diutamakan. Adanya perbedaan status bagi nasabah yaitu sebagai mitra, calon anggota, dan anggota. Adanya pemeberian kredit kepada perorangan dan kelompok.
Sehingga pada akhirnya jika lembaga keuangan Mikro Syariah yang dimotori mahasiswa telah berhasil berperan menopang UMKM dan para petani (di pedesaan), bukan mustahil dua pilar penting yang belum terselesaikan pasca krisis 1998 dapat pulih secara bertahap. Hal ini pun dapat merupakan rencana jangka panjang yang cerdas bagi mahasiswa selaku penerus perekonomian bangsa masa depan.
Akhirnya kestabilan perkonomian bangsa yang berbasiskan ekonomi syariah pun akan menciptakan perbaikan kesejahteraan rakyat yang anti kemiskinan. Harapan rakyat yang timbul bersamaan degan nyanyian reformasi mengiringi tarian demokrasi pasca rezim tirani.
LAMPIRAN
BIODATA
1. Ryza Amirethi
a. Nama Lengkap : Ryza Amirethi
b. NIM : H14063124
c. Fakultas/ Departemen : Ekonomi dan Manajemen/
Ilmu Ekonomi
d. Perguruan Tinggi : Institut Pertanian Bogor
e. Alamat Rumah /Telp : JL. Raya Darmaga No 42 Darmaga-
Bogor/ (0251) 621184, HP 081586182652
f. Alamat Email : bo2Y_nyu@yahoo.com
2. Riska Pujiati
a. Nama Lengkap : Riska Pujiati
b. NIM : H14060974
c. Fakultas/ Departemen : Ekonomi dan Manajemen/
Ilmu Ekonomi
d. Perguruan Tinggi : Institut Pertanian Bogor
e. Alamat Rumah /Telp : JL. Drupada 9 No 6 Bogor/ (0251) 356763,
HP 085220345269
f. Alamat Email : riska_granger_89@yahoo.com
Keterangan:
Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) yang dilampirkan merupakan KTM untuk TA 2006/2007 dikarenakan KTM terbaru akan dikeluarkan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) pada bulan Februari 2008.
Pendahuluan (dinamika potret perekonomian Indonesia)
Situasi ekonomi saat ini tidak terlepas dari dinamika perubahan akibat krisis multidimensi dan reformasi pada tahun 1998. Pada Orde Baru, pemerintahan itu telah cukup berhasil menyandingkan dua pilar penting pendorong pertumbuhan ekonomi dengan stabilitas politik dalam Trilogi Pembangunan. Kedua pilar inilah yang belum terselesaikan pascakrisis 1997-1998 hingga saat ini. Kedua pilar itu yaitu investasi dan pemerataan hasil pertumbuhan ekonomi (seperti ketersediaan lapangan pekerjaan dan terpenuhinya kebutuhan pokok dengan harga yang dapat diakses masyarakat kecil). Tetapi sayang sistem perekonomian Soeharto saat itu lebih terkesan kapitalisme-otoritarian, pemerintah memiliki kekuasaan tak tertandingi. Meskipun dari segi positif pemerintah memiliki “power” untuk menjamin tercukupi kebutuhan pokok masyarakat dan merencanakan pembangunan jangka panjang. Akan tetapi keadaan ini menjadikan pemerintah menjadi sangat korup dan otoriter. Akumulasi dari kekecewan rakyat pun akhirnya bertemu pada titik dimana pada tahun 1998 pemerintah Orba gagal menghadapi krisis moneter, hal ini akibat kolapsnya negara-negara Asia dalam mengelola dana jangka panjang saat itu.
Pasca berakhirnya rezim tirani, rakyat pun yang dimotori mahasiswa dan politisi mengusung reformasi sebagai kendaraan menuju kebebasan Demokrasi. Tetapi sayangnya harapan rakyat mesti tergilas oleh gagalnya demokrasi pasca reformasi untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat. Demokrasi yang lahir saat ini tak lebih dari alat kampanye dan arena ‘money politic’ semata.
Di lain pihak rakyat khususnya pengusaha kecil dan petani dibiarkan bertarung sendiri di “medan perang” Globalisasi. Sebagai contoh pada kasus kedelai pada tahun 2000 lalu pemerintah Amerika Serikat melalui USDA (United State Department of Agriculture) meluncurkan kredit ekspor sebesar 12 juta dolar AS dan tahun 2001 sebesar 750 juta dolar AS. Fasilitas kredit ini diberikan khusus kepada importir kedelai Indonesia. Harga kedelai impor yang lebih murah yakni Rp 1950 per kilogram, dibandingkan dengan kedelai lokal yang berkisar 2.500 rupiah per kilogram pun turut mengurangi kompetensi kedelai lokal dalam negeri. Munculnya UU No 12/1992 tentang sistem budidaya tanaman yang membebaskan petani untuk mengembangkan komoditas yang mereka sukai, secara tidak langsung telah menurunkan produksi kedelai dalam negeri tiap tahunnya, karena petani enggan memproduksi kedelai. Sebagai gambaran, tahun 2007 produksi kedelai lebih rendah 18,6% dibanding tahun 2006 yang mencapai 747.611 ton. Di lain pihak, seiring meningkatnya kebutuhan minyak dunia, dan maraknya isu global warming sementara persediaan minyak dunia yang ada semakin terbatas. Hal ini pun memicu sejumlah negara maju termasuk Amerika Serikat mulai mengembangkan energi alternatif, yakni bahan bakar nabati (BBN), AS mengembangkan etanol yang berbasis jagung. Kebijakan AS ini mengakibatkan harga jagung melambung tinggi, dan petani di AS beralih memproduksi jagung ketimbang kedelai. Turunnya pasokan kedelai dari AS selaku pemasok utama kedelai dalam negeri tentunya berimbas pada kenaikan bahan baku tahu tempe di Indonesia, yang tiap tahunnya rata-rata mengimpor 1,3 juta ton atau 60% dari kebutuhan kedelai nasional. Melihat ilustrasi keadaan petani kecil di depan, sudah seharusnya pemerintah memberikan jaminan harga yang baik di tingkat petani, agar para petani tetap semangat memproduksi kedelai meskipun dihimpit persaingan pasar global. Selain itu, penting pula dibentuk desain perubahan kelembagaan pengkreditan di wilayah pedesaan dan sektor pertanian. Karena pada kenyataannya lembaga keuangan formal yang diusung pemerintah tidak bisa dijangkau petani, meskipun jarak secara fisik dekat. Hal ini karena persyaratan administrasi yang berbelit dan adanya agunan. Akibatnya lembaga keuangan ini hanya dapat diakses oleh petani skal besar. Ironisnya, petani kecil juga sulit mengambil kredit dari lembaga keuangan informal seperti rentenir, karen keberadaanya mulai tergantikan oleh penetrasi lembaga keuangan formal. Inilah titik di mana petani lemah terkait modal berproduksi yang pada akhirnya mengancam ketahanan pangan nasional.
Keadaan perekonomian Indonesia yang rentan terhadap perubahan atau gejolak perekonomian dunia turut memperkeruh keadaan. Investasi yang menjadi salah satu faktor pendukung pertumbuhan ekonomi relatif menurun, akibat tindakan investor asing yang menarik dananya dari Indonesia untuk membiayai kerugian dari subprime mortgage tahun lalu dan untuk membayar kewajibannya dalam membayar carry trade saat ini. Hal ini bukan saja menyebabkan anomali melemahnya rupiah di saat kurs lain menguat terhadap dolar, tapi juga imbal hasil (yield) Surat Utang Negara (SUN) mengalami peningkatan cukup tinggi atau harganya menurun. Permasalahan ini membuat suku bunga pada bank konvensional dalam negeri mudah berfluktuasi, dan pada akhirnya melahirkan kasus kredit macet pada mayoritas perusahaan besar.
Potret usaha mikro kecil menengah (UMKM) Indonesia pun harus turut diperhatikan eksistensinya. Dari pengalaman masa krisis moneter lalu UMKM relatif bertahan karena fleksibel dan tidak bergantung bahan impor. Meskipun saat itu hampir seluruh sektor usaha terkena dampak krisis moneter, tapi UMKM tidak menjadi beban negara seperti kelompok konglomerat ytang menyebabkan negara harus menanggung kredit macet akibat tingkat suku bunga yang tinggi saat itu. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pasca krisis pun tak lepas dari peran UMKM yang memberikan kontribusi dalam penyerapan tenaga kerja sekitar 99,5%, dalam pengalokasian untuk PDB 56,7 %, dan kontribusi dalam ekspor non migas sekitar 19,1%. Melihat peranan UMKM yang cukup besar ini sudah semestinya pemerintah menaruh perhatian lebih khususnya terkait pemberian bantuan pinjaman kredit. Banyak UMKM potensial tetapi belum terlayani karena keterbatasan akses dan pemahaman, kurang lebih 70% UMKM belum terlayani oleh bank dan lembaga keuangan.
Eksistensi Perbankan Syariah di Tengah Persaingan Global
Perkembangan perekonomian global belakangan ini cukup menyita perhatian hampir semua negara di dunia terutama Indonesia, selaku negara berkembang. Permasalahan ekonomi Amerika Serikat terkait krisis perbankannya yang kemudian memicu terjadinya kegagalan utang KPR yang bermasalah (subprime mortgage), sehingga AS mengalami kerugian US $ 100 miliar dan menekan Bank Sentral AS. Pada akhirnya masalah ini menghantarkan dolar AS terpuruk tinggi terhadap euro, yen, dan poundsterling. Meskipun begitu nilai rupiah Indonesia justru melemah terhadap dolar AS. Anomali ini diduga juga disebabkan oleh perkembangan nilai tukar rupiah yang dipengaruhi permintaan dan penawaran dolar AS di pasar valuta Indonesia. Sehingga ketika harga minyak dunia naik menjadi $ 100 AS per barrel, Indonesia selaku pengimpor minyak dunia mau tak mau harus meningkatkan permintaannya terhadap dolar AS. Naiknya permintaan terhadap dolar AS, sementara kenaikan penawarannya terbatas otomatis menekan pasar valuta asing, sehingga mendorong nilai rupiah untuk turun. Oleh karena itu meskipun pada kenyataannya Indonesia termasuk negara penghasil minyak dan harga minyak mengalami kenaikan yang signifikan, bagi Indonesia pengekspor 300.000 barrel dan pengimpor 250.000 barrel minyak per harinya, keadaan ini nyaris tidak memberikan keuntungan.
Melihat ilustrasi perekonomian Indonesia tersebut dapat dilihat bahwa perekonomian Indonesia termasuk perekonomian terbuka kecil (small open economy), dimana perekonomiannya adalah bagian kecil dari perekonomian dunia sehingga ketika perekonomian dunia terguncang khususnya pada negara-negara maju seperti AS, perekonomian dalam negeri pun ikut terpengaruh. Hal ini pun membuat suku bunga pada bank konvensional dalam negeri mudah berfluktuasi. Oleh karena itu, Indonesia memerlukan suatu sistem keuangan dan perbankan yang dapat tetap stabil meskipun berada di tengah-tengah ketidakpastian ekonomi dunia.
Di dalam dunia perbankan sendiri telah dikenal adanya perbankan syariah, yang memiliki karakteristik tingkat bagi hasil yang cenderung stabil. Istilah ’bagi hasil’ dalam perbankan konvensional dikenal dengan ’bunga’ (interest fee). Perbedaan utama antara sistem keuangan dan perbankan konvensional dengan sistem keuangan dan perbankan syariah adalah pada konsep “Time Value Of Money”. Pada sistem keuangan dan perbankan konvensional uang merupakan aset yang dapat berkembang seiring waktu. Sedangkan, pada perbankan syariah uang dipandang sekedar sebagai alat tukar yang bernilai tetap, yang kemudian oleh perbankan syariah uang ini akan dikelola pada sektor-sektor usaha riil yang menguntungkan. Ini berarti bahwa pada perbankan syariah ada sistem bagi hasil yang tidak sama dengan bunga pada bank konvensional, dimana nasabah dalam hal ini berperan sebagai pemilik uang, sedangkan bank sebagai pihak peminjam sekaligus lembaga keuangan yang mengelola uang nasabah.
Karakteristik perbankan syariah berupa tingkat bagi hasil yang cenderung stabil daripada bunga di bank konvensional otomatis membuat daya tarik tersendiri.
Sistem ekonomi konvensional saat ini yang berpatokan pada bunga dinilai mudah berfluktuasi sebagai akibat terguncangnya perekonomian negara maju seperti AS, yang pada akhirnya akan menciptakan akumulasi hutang yang baru akibat semakin tingginya bunga di tengah ketidakpastian perekonomian global. Pada kenyataannya money supply dipegang oleh sebagian besar kalangan masyarakat ekonomi atas, sehingga ketika pertumbuhan pada PDB kuartal III tahun 2007 diumumkan naik sekitar 6,5%, asumsi masyarakat luas terhadap peningkatan ekonomi cenderung negatif karena pada dasarnya money supply mereka rendah sedangkan money demandnya cenderung tinggi. Oleh karenanya sistem ekonomi syariah sangat cocok diterapkan oleh Indonesia dalam rangka mencapai pembangunan ekonomi yang merata, sekaligus sebagai langkah cerdas untuk mengurangi angka kemiskinan
Potensi perbankan syariah di Indonesia yang memiliki jumlah penduduk mayoritas muslim sebenarnya berpeluang besar menjaring sektor pasar yang lebih luas lagi. Hasil survey Bank Indonesia tahun 2000-2001 pada enam provinsi yang rata-rata populasi muslimnya diatas 97% terdapat 42% yang menganggap sistem bunga bertentangan dengan ajaran agama. Sedangkan, yang memahami produk, jasa, dan manfaat perbankan syariah adalah sebesar 11%. Potensi pasar perbankan syariah yang sedang tumbuh pesat ditunjukkan dengan compound annual growth rate (CAGR) pertumbuhan aset perbankan syariah pada periode 2000-2003 sebesar 74,98% jauh di atas CAGR pertumbuhan total aset perbankan nasional sebesar 5,85%.
Melihat sekilas data di atas, Indonesia sendiri meskipun belum memiliki satu pun bank syariah yang masuk kategori dengan aset di atas 1 miliar dolar AS, Indonesia patut tersenyum bangga, karena pertumbuhan perbankan syariahnya merupakan yang paling pesat baik dari segi bertambahnya bank (yang menawarkan produk syariah) maupun dari segi pertumbuhan asetnya. Tidak hanya itu saja, tingkat profitabilitas bank syariah di Indonesia merupakan yang terbaik di dunia diukur dari rasio laba terhadap aset (ROA), baik untuk kategori bank full fledge maupun unit usaha syariah suatu bank konvensional (dual bangking system). Tingkat efisiensi operasi yang diukur dari rasio biaya operasi terhadap pendapatan operasi (full fledge) yang tercermin dalam kinerja Bank Muamalat dan Bank Syariah Mandiri pun sangat menonjol dibandingkan bank syariah lain di kawasan manapun.
Hingga Mei 2007, jumlah perbankan syariah telah mencapai 128 Bank. Bank-bank itu terdiri atas 3 bank umum syariah , 23 unit usaha syariah dari bank umum konvensional, serta 106 Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Dalam kurun waktu terakhir sekitar September 2007 jumlah Bank dan kantor perbankan syariah masing-masing sudah mencapai 27,27 persen dan 12,04 persen. Sedangkan untuk total Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksadana syariah bulan Desember 2003 adalah sebesar Rp 66.935,19 juta dan NAB pada Desember 2006 sebesar Rp 689.053,42 juta, artinya NAB reksadana syariah dalam waktu tiga tahun telah meningkat sebesar 1029 persen dari Desember 2003.
Adapun salah satu faktor pendukung tingginya pertumbuhan aset perbankan syariah di Indonesia adalah adanya regulasi UU No. 7 tahun 1992 yang mengijinkan dual banking system (unit usaha atau divisi dari bank konvensional). Enam tahun kemudian pada tahun 1998, pemerintah telah memperkokoh eksistensi perbankan syariah di Indonesia lewat UU No. 10/1998 maka istilah “bank berdasarkan prinsip bagi hasil” yang terdapat dalam UU No. 7/1992 diubah dengan istilah “bank berdasarkan prinsip syariah”. Hal ini membuka kesempatan yang luas bagi pelaku perbankan syariah untuk memperluas pangsa pasar, sekaligus meningkatkan jumlah pemain baru yang masuk dalam pasar perbankan syariah. Kestabilan perbankan syariah di tengah tidak stabilnya perekonomian dunia maupun nasional, turut memberikan nilai tambah tersendiri di mata investor sekaligus menjadi salah satu faktor penarik pendukung perkembangan perbankan syariah pada umumnya. Pola pikir masyarakat akan wajibnya bermuamalah secara Islami pun turut mendukung meluasnya pangsa pasar di Indonesia, yang mayoritas penduduknya muslim.
Pola perbankan syariah juga sebenarnya telah menarik hati pihak asing yaitu Hongkong and Shanghai Banking Corporation (HSBC), salah satu Bank asing di Indonesia, yang pada pertengahan tahun 2003 lalu HSBC telah membuka unit syariah di Indonesia sekaligus menandai untuk pertama kali dibukanya unit syariah oleh Bank asing di Indonesia. Pihak asing lainnya yang berminat adalah Malaysia yang melalui banknya yakni, Asia Finance Bank (AFB), telah mengajukan permohonan izin dari Bank Indonesia untuk memiliki bank umum syariah di Indonesia, dengan target pada tahun 2008 mendatang. Selain kedua negara tersebut sejumlah bank asal Timur Tengah seperti Al Barokah, bank asal Arab Saudi, Qatar Islamic Bank dari Qatar dan dua bank lainnya dari Kuwait dan Uni Emirat Arab berencana membuka Unit Usaha Syariah (UUS) pada tahun 2008 mendatang. Di dalam negeri pun bank sentral (Bank Indonesia) turut mendorong bank-bank asing untuk membiayai proyek berskala besar secara syariah. Proyeknya antara lain pembangunan infrastruktur yang saat ini sulit dilakukan bank syariah domestik, terkait belum dimilikinya struktur modal yang kuat. Cetak biru pengembangan perbankan syariah nasional 2002-2011, yang dirancang oleh Biro Perbankan Syariah BI turut mendukung langkah perbankan syariah di Indonesia.
Menariknya selain pihak asing seperti HSBC (Hongkong and Shanghai Corporation), AFB milik Malaysia dan bank asing asal Timur Tengah, perusahaan-perusahaan besar yang memiliki saham dengan kapitalisasi pasar yang cukup besar pun seperti Astra Internasional, Perusahaan Gas Negara, Medco Energi, dan Bumi Resources yang juga tertarik untuk masuk ke dunia ekonomi syariah harus gigit jari, Saham mereka yang telah diajukan tidak ada yang masuk dalam DES (Daftar Efek Syariah), dikarenakan rasio utang terhadap ekuitasnya lebih dari 82%. DES sendiri akan ditetapkan secara resmi di Jakarta pada bulan Desember 2007 melalui keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor Kep.325/BL/2007. Daftar tersebut memuat 20 obligasi syariah atau sukuk, 169 efek syariah berjenis saham yang dikeluarkan emiten yang tercatat di bursa, serta lima efek syariah dengan jenis saham perusahaan public. Meskipun begitu DES baru akan berlaku efektif pada 1 Januari 2008 mendatang. Sayangnya nilai keagamaan dalam menentukan kriteria efek syariah berupa saham, kontribusi pendapatan non halalnya terhadap total pendapatan masih ada dan diperbolehkan yakni tidak lebih dari 10%. Pihak Bapepam-LK sendiri akan melakukan kajian ulang atas DES termasuk terkait dengan saham Emiten di dalam DES. Terkait DES akan berlaku efektif pada 1 Januari 2008 mendatang, manajer investasi selanjutnya diberi kesempatan dua hari untuk menyesuaikan asset utama pengelolaan reksa dana mereka dengan DES. Bapepam juga memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk membuat DES-nya sendiri dengan syarat pihak tersebut memiliki sumber daya manusia yang kompeten di bidang syariah. Akan tetapi pengalokasian SDM yang paham di bidang syariah masih sulit saat ini. Oleh karenanya pihak perbankan syariah diharapkan dapat mempersiapkan Sumber Daya Manusia siap pakai yang berkompeten, sebagai salah satu program kerja jangka panjang yang cerdas.
Meskipun persentase kinerja keuangan Bank umum syariah dan unit usaha syariah relatif cukup besar tetapi pertumbuhannya dinilai para ekonom masih kurang signifikan. Untuk dana pihak ketiganya yang menggunakan prinsip wadiah dan mudharabah yaitu giro, tabungan, dan deposito masing-masing pertumbuhannya sampai tahun 2007 hanya berkisar 3,32; 6,10; dan 13,25. Perkembangan NAB reksadana syariah sendiri meski dikatakan telah meningkat sampai 1029 persen, tetapi dibanding NAB industri reksadana Indonesia yang besarnya 51.620.077,36 juta, persentase NAB reksadana syariah terhadap NAB industri reksadana hanya sebesar 1,33 persen. Sedangkan pertumbuhan pangsa pasar perbankan syariah baru mencapai 1,7 persen. Karena itu tak heran jika target Bank Indonesia untuk mendorong pertumbuhan perbankan syariah ke level lima persen pada tahun 2008 dinilai terlalu ambisius oleh pemerintah. Menurut Menteri Koordinator Perekonomian Boediono di Jakarta, Rabu (24/10), saat membuka Indonesia Sharia Expo, meskipun target lima persen itu ambisius namun kalau semua pemangku kepentingan serius, maka target lima persen bisa saja didekati dalam 1-2 tahun mendatang. Hal ini berarti pula bahwa target Indonesia untuk mencapai pembangunan ekonomi yang merata melalui sistem ekonomi syariah mesti tertunda beberapa tahun.
Adapun permasalahan yang dihadapi industri perbankan syariah sekaligus faktor yang menghambat pertumbuhan perbankan syariah antara lain terbatasnya instrumen syariah yang menyebabkan aliran dana masyarakat masuk ke lembaga-lembaga keuangan syariah masih sangat minim. Kondisi ini menyebabkan pilihan berinvestasi bagi investor syariah sangat terbatas. Hal lain yang turut menciptakan pertumbuhan aset perbankan syariah cenderung melambat sampai tahun 2007 adalah adanya kebijakan pajak ganda yang dipungut dua kali dalam satu kali transaksi pembiayaan murabahah (jual beli), hal ini otomatis menyebabkan terhambatnya pertumbuhan transaksi syariah yang pada akhirnya menurunkan animo masyarakat saat ini,yang berorientasi terhadap keefektifan dan keefisienan. Proses amandemen undang-undang pajak pertambahan nilai yang seharusnya selesai pada tahun 2007 dan Undang-Undang surat berharga syariah negara yang saat ini sudah di DPR tetapi belum disahkan pun ikut andil menciptakan pertumbuhan aset syariah melambat. Dari segi hukum hal ini sangat diperlukan sebagai landasan yang kuat bagi eksistensi dan operasional perbankan syariah di Indonesia. Kesulitan lainnya adalah adanya asumsi masyarakat luas berkenaan dengan kecilnya tingkat bagi hasil yang ditawarkan perbankan syariah, dibanding dengan tingkat bunga tinggi plus hadiah-hadiah yang dipromosikan oleh bank konvensional pada umumnya. Padahal dalam kenyataannya perbankan konvensional sendiri saat ini sedang sibuk dengan program efisiensi, dikarenakan kredit konsumsi lebih banyak yang masuk daripada kredit investasi. Oleh karenanya untuk meningkatkan arus masuk kredit investasi, tingkat bantuan pengkreditan UMKM harus lebih ditingkatkan.
Perbankan Syariah “Heroik” Menuju Peningkatan Daya Saing
Meski terkesan terpojokkan, Perbankan syariah telah mampu memberikan sentuhan warna bagi industri jasa keuangan di Tanah Air. Krisis ekonomi dan moneter yang melanda tahun 1997-1998 mengancam perbankan nasional. Tingkat suku bunga tinggi menyebabkan biaya modal sektor usaha tinggi sehingga terjadi kemerosotan kemampuan usaha sektor produksi. Kualitas aset perbankan pun anjlok, padahal kewajiban untuk terus memberi imbalan kepada depositor sesuai dengan tingkat suku bunga tak dapat dihentikan. Akibat dari daya saing sektor produksi yang rendah maka terjadilah pengurangan peran sistem perbankan dalam menjalankan fungsinya sebagai intermediator kegiatan investasi. Dengan kata lain perbankan konvensional saat itu sedang kolaps. Banyak bank yang berguguran dan banyak pula yang mendapat dana ratusan triliun rupiah agar perbankan nasional tidak ambruk. Bahkan setelah krisis yang memporak-porandakan perekonomian nasional berangsur pulih puluhan bank terpaksa dilikuidasi. Akan tetapi, ada satu yang mampu menunjukkan kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan bank-bank konvensional, tak lain adalah perbankan syariah. Untuk memacu laju perkembangan industri perbankan syariah sehingga mampu menancapkan tombak menghalau perekonomian yang kacau diperlukan strategi yang tepat.
Pertama, dibutuhkan proaktif mempromosikan sistem perbankan syariah kepada masyarakat luas karena masih banyak masyarakat yang belum memahami manfaat serta keuntungan lembaga keuangan syariah, jenis produk, serta keunggulannya dibandingkan dengan lembaga keuangan konvensional. Masyarakat harus diberi bukti bahwa perbankan syariah memberi ketenangan dan kenyamanan dari sisi nurani serta keuntungan dari bisnisnya.
Kedua, terus berusaha meningkatkan layanan karena kunci sukses bisnis jasa adalah kepercayaan yang akan terbentuk sangat kuat jika layanannya memuaskan para pelanggan atau pengguna.
Meningkatkan layanan dapat ditempuh dengan banyak cara, antara lain memperbanyak jaringan kantor dan perluasan saluran distribusi, dalam hal ini akan lebih efektif jika pihak perbankan lebih memfokuskan kepada sentra pemasaran Hub (cabang besar yang mengkoordinir cabang yang lebih kecil) dengan transaksi melalui cabang pembantu / kantor kas. Selain itu harus meng-up grade sumber daya manusia (SDM), terutama di tenaga pemasaran syariah mesti diperkuat dan dipusatkan pada cabang-cabang (yang diposisikan sebagai Hub syariah, sehinnga investasi untuk membuka cabang baru syariah bisa ditekan, dan jangkauan area pemasaran lebih efektif, serta menciptakan produk-produk inovatif yang tetap mengacu pada prinsip syariah.
Membuka jaringan layanan memang membutuhkan investasi cukup besar, tetapi jika hal itu tak dilakukan maka sangat sulit mengaharapkan perbankan syariah kian berkembang. Kerjasama dan aliansi dengan lembaga sejenis bisa menghemat pengeluaran investasi.
Terkait dengan penyediaan SDM kini sudah banyak lembaga pendidikan tinggi swasta dan negeri yang membuka program studi ekonomi Islam atau perbankan syariah baik jenjang diploma maupun sarjana, sehingga masalah kelangkaan SDM di bidang lembaga keuangnan syariah akan cepat teratasi.
Sementara itu inovasi produk berhubungan erat dengan pemanfaatan teknologi informasi. Anjungan Tunai Mandiri (ATM), electronic banking, phone banking, mobile banking, dan sejenisnya yang sudah digunakan perbankan konvensional perlu diadopsi dan disesuaikan dengan prinsip syariah.
Ketiga, meningkatkan permodalan untuk mewujudkan postur perbankan syariah yang kuat dan sehat sebagai salah satu pilar perekonomian. Tak bisa tidak jika ingin besar maka bank-bank syariah harus menaikkan modalnya. Itu bisa dilakukan lewat penjualan saham ke pasar modal atau bekerja sama de3ngan bank syariah besar di berabagai negara. Dari situ kita berharap perbankan syariah di Indonesia berkembang menuju jati dirinya dalam menopang ekonomi nasional.
Selanjutnya adalah upaya penyesuaian antar fatwa Dewan Syariah nasional (DNS) dengan regulasi perbankan syariah. Harmonisasi penting agar peraturan-peraturan yang dikeluarkan BI sejalan dengan fatwa yang dikeluarkan oleh DSN. Pada aspek kestabilan system dan kemanfaatan bagi perekonomian perlu dibuat referensi yang akurat untuk mengarahkan pola pengembangan industri perbankan syariah yang sehat.
Berdasarkan cetak biru pengembangan perbankan syariah nasional 2002-2011 yang disusun Biro Perbankan Syariah BI, pengembangan perbankan syariah baru mulai memasuki tahap II yakni implementasi kelanjutan dari program-program pembentukan kerangka dasar sistem pengaturan yang disesuaikan dengan karakteristik operasional perbankan syariah yang sehat (tahap I). Sedangkan tahap III yang merupakan finalisasi sistem perbankan syariah diharapkan mampu memenuhi standar keuangan dan kualitas pelayanan internasional.
Akibat infrastruktur pasar dan aturan-aturan bisnis belum lengkap, termasuk RUU perbankan syariah menjadikan pelaku perbankan syariah harus berhati-hati dalam mengambil keputusan. Meskipun terkadang perbankan syariah terlihat bingung dalam memilih segmentasi yang tidak infokus. Hal ini pun sama kasusnya dengan model perbankan konvensional yang cenderung ikut-ikutan dalam memilih program kerja di pasar. Contohnya saat salah satu Bank syariah meluncurkan produk gadai syariah (rahn), maka bank-bank syariah lain cenderung mengikuti. Seharusnya pelaku perbankan syariah lebih memfokuskan diri terhadap strategi market development (pengembangan pasar) dan market penetration selain dari pada pengembangan produk.
Pemilihan segmentasi yang ingin dituju perbankan syariah haruslah sesuai dengan pola perbankan syariah sendiri. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa ada dua pola yaitu dual banking system dan full syariah banking. Secara umum pelaku perbankan syariah cenderung generik dalam pemilihan segmentasi termasuk juga dalam memilih produk dan strategi pasar, kecuali BII Syariah yang fokus terhadap segmentasi high nasabah individu berpendapatan tinggi dengan positioning yang jelas sebagai platinum syariah. Hal ini penting karena masing-masing pola memiliki kekuatan dan kelemahan yang berbeda sehingga diperlukan analisis yang kuat untuk memilih segmentasi pasar yang sesuai.. Kembali terhadap permasalahan yang kini sedang dihadapi pihak perbankan konvensional terkait dengan defisitnya kredit investasi daripada kredit konsumsi yana cenderung meningkat. Hal ini pun diperparah dengan persaingan yang tidak sempurna diantara bank-bank di Indonesia, dimana hanya 15 Bank utama yang menguasai hampir 75 persen pasar, sedangkan bank-bank konvensional lainnya harus saling berebut dalam lingkup 25 persen sisanya. Keadaan yang tidak berimbang ini pun mesti terusik oleh guncangan-guncangan ekonomi yang dialami Negara-negara maju selaku parameter kekuatan ekonomi dunia. Fluktuasi ekonomi dunia menjadikan tingkat bunga perbankan konvensional menjadi tidak terkendali. Kasus ini jelas sangat berbeda dengan perbankan syariah yang sejak lama berpola keuntungan bagi hasil dalam rangka mencapai perekonomian yang berkelanjutan dan adil.
Keberadaan perbankan syariah sendiri sebenarnya memberikan angin segar bagi dunia perbankan di Indonesia karena memberikan alternatif produk dan jasa perbankan bagi masyarakat terutama muslim, yang dari pengalaman krisis lalu terbukti mampu meningkatkan ketahanan satuan-satuan ekonomi melalui prinsip bagi hasil (profit and loss sharing) dan tidak mengenal berbagi risiko (risk sharing). Hal ini tentunya berbanding terbalik dengan perbankan konvensional yang menganut paham bunga (interest fee). Akhirnya jika penerapan strategi kerja yang mantap tersebut dalam rangka peningkatan daya saing
Peranan Bank Syariah dalam mendayagunakan UMKM
UMKM selaku sektor andalan pertumbuhan perekonomian bangsa memerlukan perpanjangan tangan dari lembaga keuangan khusus yang dapat mengakses nasabah mikro di banyak lokasi, sektor dan komunitas, terkait dengan skala ekonomis pembiayaan. Dalam menanggapi permasalahan ini beberapa Bank Syariah telah mengantisipasi dengan bekerja sama terhadap Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS).
Salah satru bank syariah yang melakukan program kerja ini adalah Bank Syariah Mandiri, yang akhir 2007 lalu telah membiayai lebih dari 100 LKMS dengan total plafon lebih dari 27 milyar. Jumlah ini pun akan terus ditingkatkan, baik dengan dana sendiri maupun bekerja sama dengan pemerintah, yaitu : Kementrian Koperasi dan UKM serta Departemen Kelautan, Deptan, KLH. Pada tingkat pemerintah, realisasi Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari program penjaminan kredit melalui Auransi Kredit Indonesi dan Perum Sarana Penjamin Usaha pada 5 November 2007 lalu sudah mencapau Rp. 348,259 milyar. Dengan perincian Bank Mandiri mengucurkan kredit 72,542 milyar,Bank Syariah Mandiri Rp 22,518 milyar, Bank BNI’46 sebesar Rp 5,5 milyar, BRI sebesar Rp 230 milyarm dan Bank Bukopin Rp 17,7 milyar (Kompas, 3 Januari 2008).
Selain upaya pemerintah bekerja sama dengan Askrindo dan Perum Sarana Pengembangan Usaha di aras, upaya lain yang ditempuh perbankan adalah melalui linkage program. Program ini menempatkan BPR dan BPRS sebagai community banks (local bank), dengan tujuan agar pembiayaan bank umum kepada UMKM dapat dilakukan dengan lebih efisien dan efektif, sekaligus untuk mengetahui karakteristik nasabah UMKM di lingkungannya dengan lebih insentif.
Sebagai gambaran, hingga periode laporan tercatat sebanyak 109 BPRS beroperasi di penjuru wilayah nusantaram dimana 4 BPRS diantaranya baru memulai operasionalnya pada tahun 2007 lalu. Keempat BPRS itu yakni BPRS Sindanglaya Kotanupan, BPRS Bumi Artha Sampang, BPRS Karya Mugi Sentosa, dan BPRS Jabal Nur. Total pembiayaan yang disalurkan sebesar Rp 865,25 milyar dimana seluruhnya merupakan pembiayaan kepada UMKM (Jaenal Effendi, Dosen Ilmu Ekonomi IPB)
Keterbatasan pihak UMKM dan petani untuk mengakses BPR
Selaku negara agraris yang cukup besar, Indonesia memiliki sektor pertanian yang berpotensi menyerap tenaga kerja (khususnya berketrampilan rendah) sekitar 43 persen dari angkatan kerja yang menganggur. Dari pendahuluan di depan, diketahui bahwa adanya lembaga keuangan formal yang diusung pemerintah (BPR maupun BPRS) kurang bisa dijangkau oleh petani, khususnya petani kecil skala kecil, hal ini terkait proses administrasi dan agunan yang cukup menyulitkan petani. Selain itu nasib UMKM pun hampir tak jauh beda dengan petani kecil, dimana baru 30% saja yang dapat dilayani oleh Bank dan lembaga keuangan pemerintah. Jika permasalahan ini dibiarkan tanpa ada tindak lanjut lebih intensif dan perhatian khusus dari berbagai pihak, maka tidak mustahil UMKM selaku penopang PDB 56,7% dan pertanian selaku selaku sektor ekonomi penyerap tenaga kerja kurang lebih 43% pun akan terpuruk seiring ketidakberdayaan pemerintah dalam menghadapi supply shock dari perekonomian dunia.
Potensi Peranan Mahasiswa dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah menopang UMKM dan Petani Skala Kecil
Mahasiswa selaku civitas akademik memiliki potensi cukup baik untuk dijadikan pelaku penunjang Lembaga keuangan mikro syariah. Karakteristik mahasiswa yang pada masa peralihan pemerintahan Pra-reformasi lalu terbukti memiliki keterikatan batin yang kuat terhadap rakyat, sangat kredibel untuk dijadikan referensi pelaku lembaga keuangan ini. Solusi untuk permasalahan para petani dan UMKM yang cenderung sulit dalam mengakses Lembaga keuangan formal dapat ditunjang dengan adanya Lembaga Keuangan mikro. Perlunya dibentuk desain perubahan kelembagaan pengkreditan di wilayah pedesaan dan sektor pertanian ini, sekaligus menopang UMKM selaku motor penggerak perkonomian rakyat di Indonesia sangatlah penting. Sebagai gambaran Lembaga Keuangan Mikro Syariah yang dibentuk mempunyai keunggulan dalam mekanisme, seperti sistem penghimpunan dana yang menerapkan sistem jemput bola, pelaksanaan kegiatannya melibatkan peran aktif masyarakat sekitar. Lembaga keuangan mikro tidak hanya memberikan pembiayaan tetapi juga memberikan pembinaan kepada nasabah. Adanya penerapan sistem bagi hasil berdasarkan kesepakatan bersama yang bertujuan agar nasabah tidakk dirugikan sehingga kedua belah pihak saling diuntungkan. Jika ada nasabah yang memiliki permbiayaan yang macet maka pendekatan kekeluargaan lebih diutamakan. Adanya perbedaan status bagi nasabah yaitu sebagai mitra, calon anggota, dan anggota. Adanya pemeberian kredit kepada perorangan dan kelompok.
Sehingga pada akhirnya jika lembaga keuangan Mikro Syariah yang dimotori mahasiswa telah berhasil berperan menopang UMKM dan para petani (di pedesaan), bukan mustahil dua pilar penting yang belum terselesaikan pasca krisis 1998 dapat pulih secara bertahap. Hal ini pun dapat merupakan rencana jangka panjang yang cerdas bagi mahasiswa selaku penerus perekonomian bangsa masa depan.
Akhirnya kestabilan perkonomian bangsa yang berbasiskan ekonomi syariah pun akan menciptakan perbaikan kesejahteraan rakyat yang anti kemiskinan. Harapan rakyat yang timbul bersamaan degan nyanyian reformasi mengiringi tarian demokrasi pasca rezim tirani.
LAMPIRAN
BIODATA
1. Ryza Amirethi
a. Nama Lengkap : Ryza Amirethi
b. NIM : H14063124
c. Fakultas/ Departemen : Ekonomi dan Manajemen/
Ilmu Ekonomi
d. Perguruan Tinggi : Institut Pertanian Bogor
e. Alamat Rumah /Telp : JL. Raya Darmaga No 42 Darmaga-
Bogor/ (0251) 621184, HP 081586182652
f. Alamat Email : bo2Y_nyu@yahoo.com
2. Riska Pujiati
a. Nama Lengkap : Riska Pujiati
b. NIM : H14060974
c. Fakultas/ Departemen : Ekonomi dan Manajemen/
Ilmu Ekonomi
d. Perguruan Tinggi : Institut Pertanian Bogor
e. Alamat Rumah /Telp : JL. Drupada 9 No 6 Bogor/ (0251) 356763,
HP 085220345269
f. Alamat Email : riska_granger_89@yahoo.com
Keterangan:
Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) yang dilampirkan merupakan KTM untuk TA 2006/2007 dikarenakan KTM terbaru akan dikeluarkan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) pada bulan Februari 2008.
Langganan:
Postingan (Atom)